Senin, 31 Oktober 2016

Resensi Novel "Cinta Di Ujung Sajadah"






    A.     IDENTITAS
                1.      Judul                         : Cinta di Ujung Sajadah
    1. No. ISBN                    : 978-602-7595-13-2
    2. Penulis                         : Asma Nadia
    3. Penerbit                       : REPUBLIKA
    4. Tanggal terbit              : Juli, 2012
    5. Cetakan                       : Kesatu, Juli 2012
    6. Halaman                      : 292
    7. Ukuran                        : 13,5 cm x 20,5 cm
    8. Harga                          : Rp.20.000,00.-

    B.   KEPENGARANGAN

Asmarani Rosalba (lahir di Jakarta tahun 1972), lebih dikenal sebagai Asma Nadia, adalah penulis Indonesia. Ia lahir dari pasangan Amin Usman dan Maria Eri Susianti. Saat ini dikenal sebagai Ketua Forum Lingkar Pena, suatu perkumpulan yang ikut dibidaninya untuk membantu penulis-penulis muda. Ia juga menjadi Ketua Yayasan Lingkar Pena, dan manajer Lingkar Pena Publishing House. Karena karya-karyanya ia pernah mendapat berbagai penghargaan. Selain menulis, Asma sering diminta untuk memberi materi dalam berbagai loka karya yang berkaitan dengan penulisan serta keperempuanan, baik di dalam mau pun di luar negeri. Terakhir dalam perjalanannya keliling Eropa usai mendapatkan undangan writers in residence dari Le Chateau de Lavigny (Agustus - September 2009), Nadia sempat diundang untuk memberikan workshop dan dialog kepenulisan al. di PTRI Jenewa, Masjid Al Falah Berlin (bekerja sama dengan FLP dan KBRI di sana), KBRI Roma, Manchester (dalam acara KIBAR Gathering), dan Newcastle. Asma Nadia telah menikah dan dianugerahi dua anak. Sejak tahun 2009 awal, Nadia merintis penerbitan sendiri: Asma Nadia Publishing House. Salah satu buku yang diterbitkan telah dialihkan ke layar lebar, berjudul Emak Ingin Naik Haji. Uniknya, seluruh royalti dari buku tersebut diberikan untuk sosial kemanusiaan khususnya membantu mewujudkan mimpi mereka yang salih dan salihat, yang rindu tanah suci tapi kurang mampu. Ada 40 buku yang sudah dia tulis yang diterbitkan oleh mizan, diantaranya:
     1)      Derai Sunyi, novel, mendapat penghargaan Majelis Sastra Asia Tenggara (MASTERA)
     2)      Rembulan di Mata Ibu (2001), novel, memenangkan penghargaan Adikarya IKAPI sebagai buku  remaja terbaik nasional
     3)      Dialog Dua Layar, memenangkan penghargaan Adikarya IKAPI, 2002
     4)      101 Dating meraih penghargaan Adikarya IKAPI, 2005
     5)      Jangan Jadi Muslimah Nyebelin!, nonfiksi, best seller.
     6)      Emak Ingin Naik Haji: Cinta Hingga Ke Tanah Suci (AsmaNadia Publishing House)
     7)      Jilbab Traveler (AsmaNadia Publishing House)
     8)      Muhasabah Cinta Seorang Istri          
     9)      Catatan hati bunda
     10)  Karya-karya berikut ditulis bersama penulis lain:
     11)  Ketika Penulis Jatuh Cinta, Penerbit Lingkar Pena, 2005
     12)  Kisah Kasih dari Negeri Pengantin, Penerbit Lingkar Pena, 2005
     13)  Jilbab Pertamaku, Penerbit Lingkar Pena, 2005
     14)  Miss Right Where R U? Suka Duka dan Tips Jadi Jomblo Beriman, Penerbit Lingkar Pena, 2005
     15)  Jatuh Bangun Cintaku, Penerbit Lingkar Pena, 2005
     16)  Gara-gara Jilbabku, Penerbit Lingkar Pena, 2006

     C.   RINGKASAN
1.      Bab 1 : Cinta di Madinah
1.1.Usai Senja di Madinah
Ia bersyukur Allah mengabulkan doanya. Mengizinkan kakinya menapaki Tanah Suci. Dan sama seperti perjalanan lain ketika menyusuri jejak Nabi, seperti di Masjidil Haram, saat melihat Ka’bah bangunan hitam persegi yang wangi dan memancarkan wibawa itu, air matanya tak berhenti mengalir.
“Kamu menangis”
Suara itu memberi kehangatan, meski udara di Madinah terasa begitu dingin. Perempuan itu mengulang nama lelaki yang menyapanya penuh cinta itu dalam hati. Berdua mereka masih saja berdiri menghadap bangunan artistic berhiaskan lampu yang tegak di hadapan. Senja baru saja usai di Madinah. Kota dimana tempat masjid yang paling dicintai Nabi. Didalamnya ada jejak dua buah rumah dari hamba-hamba Allah yang paling saleh. Rumah Nabi dan Aisyah, serta rumah Ali dan Fatimah.
Sulit mencegah tangis yang selalu ingin tumpah.
Laki- laki yang berdiri disisinya pasti mengerti.
Dan senja ini adalah kali pertama mereka melangkah di Raudhah, taman yang berada di antara makam dan mimbar Nabi.
Assalaamu’alaika ya Rasuulallahi. . .
Bibirnya yang dingin bergerak-gerak.
Lelaki yang di sisinya melakukan hal yang sama. Mereka tidak hanya berdua, sebab jamaah masih berlalu lalang.
Musim dingin di Madinah. Dan perempuan itu bahkan tidak mengenakan baju hangat yang cukup tebal, seperti seharusnya.
“Cinta . . .”
“Kita Pulang . . .”
1.2.Interview I
Siapakah Cinta?
Saya belum lama mengenal perempuan yang menurut saya luar biasa itu. Dalam usia dua puluh tujuh, sosok cantiknya telah akrab di mata ribuan anak-anak yatim piatu. Konon sejak lepas SMA, lalu melanjutkan kuliah, gadis itu telah rajin menyambangi panti asuhan dan pesantren, sebelum kemudian memiliki beberapa rumah yang kini tersebar di Tanah Air.
Cinta masih muda, cantik, postur tubuhnya lebih dari bagus. Suaminya pun mapan. Cinta sendiri bekerja sama dengan Ibu Mertua dan teman masa kecilnya, memiliki usaha butik yang tidak hanya di Tanah Air, tetapi memiliki beberapa cabang di laur negeri.
Cinta, perempuan berkerudung merah muda itu tersenyum. Di pangkuannya bergayut seorang bayi berusia tujuh bulan. Sementara sejak tadi pertanyaan saya belum juga terjawab lantaran Cinta sibuk menanggapi celoteh balita yang bermain di sekitar kami.
Cinta meladeni setiap sapa, pertanyaan atau jika itu berupa sentuhan terkesan tidak penting, dengan kasih seorang Ibu. Saya terharu melihatnya. Tidak satupun dari anak-anak itu lahir dari rahim Cinta.
2.        Bab 2 : Melintasi Ruang Waktu
2.1.Selamat Malam, Cinta
Banyak yang bilang, Cinta punya mata indah. Mata peri. Gadis dengan penampilan sportif itu juga dikenal memiliki hati yang baik. Jika peri-peri dalam dongeng itu benar adanya dan berhati sangat baik, maka Cinta mewarisi sedikitnya setengah kebaikan mereka.
Sebagai remaja tentu saja Cinta tak lepas dari sikap-sikap seperti umunya gadis berusia enam belas tahun. Kadang-kadang tingkah isengnya timbul, tapi sejauh ini rasanya tak pernah sampai menyakiti orang lain. Satu-satunya saat gadis berkuncir itu merasa telah bersikap kasar dan begitu buruk, justru ketika ia berhadapan dengan anggota keluarganya, yang sama-sama tinggal di rumah mentereng itu.
Tapi ia hanya membela diri.
Enam belas tahun ia belajar membela diri hanya berdasarkan naluri. Enam belas tahun! Waku yang cukup panjang untuk mengetahui kapan dia harus bersikap agresif, kapan dia harus reaktif, kapan dia harus. . . menyerang.
Tapi ia bukan peri.
Di lantai bawah, kemeriahan pesta ulang tahun perkawinan Papa dan Mama Alia berlangsung. Persiapannya sudah sejak dua bulan yang lalu. Mama Alia menginginkan sebuah pesta yang meriah, dan untuk itu ia telah menyewa jasa seorang EO, Even Organizer terkenal.
Semula Cinta ikut menyambut tamu yang datang. Tapi suasana meriah malah menyisihkannya pada sepi dan rindu. Perlahan ia mundur dan mengurung diri di kamar. Cinta asyik berkali-kali membuka dan menutup kotak-kotak miliknya, mengenang masa lalu. Terakhir,Cinta mengambil sebuah kotak lain dan mengeluarkan isinya. Inilah milik Cinta yang paling dihayatinya sepenuh perasaan. Koleksi terakhirnya. Cinta menatap wajah-wajah yang memancarkan sejuta kasih pada lembaran foto yang terserak di tempat tidur. Foto-foto itu, dengan caranya yang aneh, senantias mengalirkan pelukan keibuan, yang nyaris tak meninggalkan jejak lagi dalam ingatan Cinta. Sejak itu Cinta sering tertidur dengan foto-foto terserak di dekatnya. Sebagian berada dalam pelukannya, sebagian lagi terkadang menempel di dahi, memberi Cinta ciuman sebelum tidur.
2.2.Rindu ini untukmu
“Pa, bagaimana Mama meninggal?”
Suatu hari dalam kehidupan Cinta, ia melontarkan pertanyaan itu pada laki-laki yang dipanggilnya Papa, namun semakin lama terasa asing. Pengaruh pertanyaan Cinta yang kala itu kelas empat SD sungguh mengejutkan.
Dari dulu ia selalu iri melihat keakraban teman-teman sekelasnya dengan ibu mereka. Ia cemburu melihat Mimi selalu diantar ke sekolah oleh Mama-nya. Juga Tia dan Neta. Malah Mamanya Neta lebih baik lagi. Selalu menggandeng tangan anaknya sampai depan kelas.
Ia masih kecil, dan tak punya ingatan tentang Mama. Tapi Papa yang dingin, cukup membuatnya menyimpulkan sesuatu.
Dunia laki-laki dan perempuan mungkin berbeda. Papa dan Mama wajar berbeda. Bahwa keduanya harus dikasihi, tentu. Tapi kejadian itu melahirkan pikiran jernih buat Cinta. Mungkin juga Neta. Mamanya, kalau masih ada, pasti seperti Mama Neta; baik, murah senyum, suka mendongeng, dan membuatkan kue yang enak-enak.
“Kalau Papamu dulu, Net?”
“Sebelum pergi?” “Papa sibuk, mulu. Nggak pernah ajak aku main. Paling juga dulu waktu masih sama Mama, kita jalan-jalan. Tapi biasanya Papa buru-buru pulang, terus pergi lagi sendiri.”
Jalinan hati Cinta dan Neta di kemudian hari semakin erat. Cinta tak punya Mama, dan Neta tak punya Papa. Klop! Meski dalam hati gadis cilik berkuncir itu sering membatin, rasanya ia seperti tak punya Mama dan Papa sekaligus. Mama Alia dengan dua anaknya benar-benar merebut sedikit sisa waktu, yang harusnya ia miliki bersama Papa.
2.3.Tak ada surga disini
Cinta duduk di teras.
Barusan ia ribut lagi dengan anak-anak tersayang Mama Alia. Padahal gara-garanya sepele. Tapi kedua saudara tirinya memang sering membesarkan hal-hal remeh. Biasanya pula, Papa yang tidak mau ribut, cepat memvonis dan menjatuhkan hukuman. Untuk Cinta.
Benar-benar hari kelabu. Ia tidak bisa membiarkan diri diserang terus. Bukan saja hal itu akan membuat Anggun dan Cantik besar kepala. Tapi sikap yang sering tidak adil harus diluruskan.
Kerinduannya pada ibu kandung lantas saja meledak-ledak. Seperti kembang api raksasa di malam tahun baru. Megah, besar, menyala terang. Tak bisa disembunyikan. Air mata Cinta nyaris tak terbendung. Tapi seperti biasa Cinta tak membiarkannya mengalir. Menangis hanya menunjukkan kelemahan dan menyumbang kegembiraan pada mereka yang telah menabur kesedihan padanya. Pikir gadis itu berkeras hati.
Perempuan bertubuh gemuk yang suka memakai daster batik itu sudah lama di sana. Hidup dan menyaksikan babak demi babak penderitaan Non tersayangnya. Ia paham kesedihan yang dimiliki Cinta. Sebab semua tertangkap tak Cuma oleh mata, tapi juga hati. Kasihan Cinta, batin Mbok Nah. Selalu saja disalahkan.
Cinta kelas satu SMA. Belasan tahun hanya dengan kasih Mbok Nah. Ia masih rindu Mama. Sangat. Dan menjadi sangat kesal, dengan sikap beberapa temannya yang menurutnya tidak bersyukur.
Sementara Cinta . . .
Jika saja Mama masih ada, Cinta siap sujud dan mencium kaki perempuan itu.
3.    Bab 3 : Laki-laki Matahari
3.1.Makky Matahari Muhammad
Makky. Lima huruf itu yang tiba-tiba muncul dan memberikan warna baru dalam kehidupan rutin Cinta. Barangkali seperti perasaan Tinkerbell, tokoh peri dalam dongeng anak-anak, saat Peter Pan hadir.
Sore sepulang sekolah, Cinta menyaksikan hal yang tidak biasa di depan rumah. Sebuah truk barang yang besar terparkir di pinggir jalan. Beberapa lelaki tempak sibuk menurunkan dan memindahkan perabot.
Dalam lalu lalang itu Cinta menangkap bayangan cowok bercelana jins, dengan t-shirt  putih. Sosok tegapnya mondar-mandir mengatur lalu-lalang barang. Wajahnya tampak berkeringat.
Cinta menundukkan kepala ketika melangkah menjauh. Sesaat tadi ia kebingungan harus memanggil nama itu dengan “Kak” atau “Bang”. Pikiran itu membuatnya malu, meski cepat-cepat disingkirkannya. Apa salahnya memanggil begitu. Meski wajah terbilang cute, tapi Makky jelas terlihat lebih dewasa.
Makky mengangguk dan melambaikan tangan, namun tak bisa membebaskan diri, karena Cantik keburu mencegat jalan cowok tegap itu.
3.2.Cinta Berpelangi
Pertemuan dengan Makky membawa angin segar buat Cinta. Sebab selain Anggun dan Cantik akhir-akhir ini tak banyak cari gara-gara dengan dia atau Mbok Nah, juga karena perkenalan itu membawa Cinta pada sosok imut bernama Salsa, yang masih sekolah kelas lima SD. Salsa lucu dan asli menggemaskan. Tidak segan-segan adik kecil Makky itu mengganggunya di rumah. Berdua mereka main di kamar Cinta yang bernuansa ungu.
Mungkin Makky suka cewek yang cerdas?
Mungkin Makky menyukai Cinta?
3.3.Dunia Makky
“Pasti mahal ya, Makky?”
Makky meletakkan kamera yang baru dibersihkan dengan hati-hati. Untunglah belum terlalu kotor, hingga cukup menggunakan blower.
Cinta banyak menanyakan sesuatu pada Makky tentang fotograper. Sebenarnya agak malu juga banyak tanya, apalagi yang ditanyakan hal-hal mendasar banget. Tapi Cinta benar-benar ingin tahu.
Cinta manggut-manggut. Biar tidak seratus persen, dia kan harus pura-pura paham. Biar gurunya tak putus asa mengajarnya. Tapi ternyata Makky memang hebat. Cowok  itu bukan hanya hobi motret, namun tampaknya sudah menghasilkan banyak gambar bagus.
Jemari Cinta masih menyusuri kamera-kamera yang tertata rapi di lemari pajangan. Makky mengikuti telunjuk Cinta. Asli, dia tidak perlu kesabaran ekstra untuk menjelaskan serba-serbi bidang yang dicintainya.
Makky menunjuk sebuah kamera medium format model lama yang dua lensa, merek Rolleiflex. Sekilas matanya melirik Cinta yang terlihat sungguh-sungguh antusias. Padahal cewek-cewek  lain umumnya sudah kabur mendengar penjelasannya. Atau mengangguk dan hanya bergumam, hmm. . .hmm. . .hmm. . . tapi Cinta tidak. Entah apa yang membuat gadis ini terlihat sangat berminat dan ingin tahu. Hal yang membuat Makky juga tambah semangat membagi apa yang dia kuasai.
4.    Bab 4 : Ujian Cinta
4.1.Catatan Tiga Hati
Jalanan di bawah sepi. Kediaman Makky dan Salsa terlihat seperti rumah-rumahan dari korek api. Suasananya makin lama kian gelap, karena satu per satu lampu mulai di padamkan. Di atas mereka langit terhampar seperti bentangan sajadah biru tua.
Tiga gadis berpelukan, dalam malam yang pucat, di antara tart cheese dan black forrest,kripik nangka, abon sapi, dan Josh Groban yang belum bungkam.
“Aisyah, pernah nggak  berpikir bahwa sebetulnya Ummi mungkin juga malu dengan pandangan umum. Pasti bukan Cuma kamu yang berpikir begitu kan? Udah tua kok hamil?”
Kalimat Cinta yang terdengar bijak menyalakan harapan.
Ia memang tidak bisa diam saja melihat Aisyah bersedih. Cinta cukup mengenal Ummi, perempuan bertubuh besar keturunan Arab Betawi, yang hangat. Di antara teman-teman mereka, sepertinya Ummi satu-satunya orang tua murid yang selalu memeluk teman-teman anaknya dengan keramahan yang kaya dan tulus.
4.2.Ikhlaskan, Cinta. . .
Keributan besar memang tinggal menunggu waktu.
Cinta dan Salsa sedang menempelkan foto-foto di dinding ketika Anggun tiba-tiba menggedor pintu kamar Cinta. Entakan keras yang berulang-ulang di pintu, jelas mengagetkan Salsa. Gadis dengan bibir mungil menggemaskan itu langsung pucat pasi. Apalagi setelah melihat tampang judes Anggun berdiri di mulut kamar.
Anggun marah pada Cinta. Anggun menyangka Cinta yang telah merusak komputer Anggun. Karena kemarin Cinta telah meinjam komputernya Anggun, padahal Cinta hanya meminjam untuk browsing saja. Anggun marah-marah pada Cinta. Sebetulnya hati Cinta mulai panas. Namun sekilas tadi ia melirik ke belakang, dan melihat mata Salsa yang memerah. Adiknya Makky itu perasaannya memang halus, cepat nangis kalau mendengar suara-suara keras.
Tangan mungil Salsa menyelusup dalam genggaman Cinta.
Cepat, Cinta mengerjap-erjapkan matanya, membuang beban ribuan air yang sempat menelaga di sana. Ia tak ingin membuat gadis cilik di sampingnya bingung. Salsa diam. Hanya matanya yang bicara. Lalu begitu saja, bocah SD itu memluk Cinta.
4.3.Kamar Gelap
Tante Rini melambaikan tangan. Ibunda Makky dan Salsa itu tampak sibuk menelpon. Makky mengajak Cinta naik ke lantai atas. Serta-merta Cinta menggeleng. Kata Aisyah, dua-duaan itu berbahaya!
“Kenapa?”
“Ke mana?”
“Kamar!”
Cinta makin mantap menggeleng.
“Karena . . .,” Makky menghentikan kalimatnya, lalu dengan senyum menggoda menatap mata bulat memanjang milik gadis itu, “karena aku bukan muhrim ya?”
Makky akan mengajak Cinta ke kamar gelapnya yang selama ini membuat Cinta penasaran. Cinta tertawa. Langsung melompat dari kursi. Selama ini dia penasaran banget dengan kamar gelap untuk memproses foto. Gadis itu mengikuti langkah Makky yang melompati dua-dua anak tangga sekaligus. Ekor kuda Cinta bergoyang-goyang. Pemandangan yang sempat dicuri Makky. Cinta tampak manis dengan rambut panjangnya yang hanya dikuncir satu sederhana.
Mereka memasuki sebuah ruangan kecil berukuran satu kali dua meter, yang pengap. Sebuah aroma khas yang berasal dari pori-pori tembok menyambut cuping hidung Cinta. Di dalamnya, Cinta merasa berada dalam lubang gelap. Hanya lampu merah redup yang menjadi sumber cahay satu-satuny. Kesan gelap itu dipertegas dengan dinding-dinding yang seluruhnya di cat hitam. Bahkan lubang angin pun ditutup kertas hitam.
4.4.Tali Hati
Pertengkaran makin sering terjadi antara Cinta dengan dua saudara tirinya akhir-akhir ini. Sikap mereka semakin sewenang-wenang. Tidak hanya kepada dia, tapi juga kepada Mbok Nah. Mama juga kerap mencari-cari masalah untuk menyudutkankannya. Seperti kemarin pagi, Cinta sudah hampir terlambat ke sekolah, tapi Mama malah meinta Cinta mencarikan barang miliknya yang hilang. Padahal Anggun dan Cantik sudah siap-siap berangkat dan mustahil mau menunggunya lebih lama.
Kalau masalahnya cuma baju, tali pinggang, topi, tas dan aksesoris lain yang diambil Anggun dan Cantik, tanpa izinnya, Cinta masih bisa menahan diri. Ia lebih milih mengalah daripada ribut dan buntutnya dimarahi Papa. Terakhir, album perangko berwarna biru, kesayangan Cinta yang diambil diam-diam oleh Anggun. Dan Cinta hanya bisa tersenyum ketika Makky beberapa hari yang lalu bercerita tentang hobi Anggun yang luar biasa.
Privasinya sendiri sudah sejak lama diinjak-injak. Entah dengan cara bagaimana, dua saudara tirinya selalu bisa menemukan kunci kamar dan menerobos masuk, lalu mengacak-acak isinya hingga berantakan. Cinta tidak mengerti, kenapa ada orang yang begitu ingin merusak benda milik orang.
Cinta menyayangi Mbok Nah, yang telah memberikan sayap hangat, atas udara beku yang dipancarkan sekelilingnya. Tapi Cinta beranggapan permasalahan ini begitu pribadi, jadi harus diselesaikan mereka berdua. Dia dan sosok yang melahirkannya.
4.5.Cinta yang Patah
Cinta asyik mengutak-atik kamera barunya. Neta memperhatikan saja, sambil sesekali geleng kepala. Kata tetangganya itu, kamera yang dipegangnya bagus buat pemula, soalnya kamea itu full manual,  jadi pengaturan gelang diafragma lensa, speed rana, dan fokus, serta penggunaan lampu flash dilakukan sepenuhnya oleh fotografer, bukan camera’s computer. Kenyataannya memang asyik. Meski jauh lebih sulit dibanding kamera otomatis.
Obrolan anak-anak di kantin beralih ke masalah lain. Ke masalah Mirna yang sudah lima hari tidak masuk sekolah. “Kenapa, ya?” “Mungkin sakit?” “Harusnya kita tengok. Ujian sudah dekat. Ada yang tahu nggak alamatnya?”
Cinta mengedarkan pandangan ke sekeliling. Semua menggeleng, tidak ada yang tahu alamat Mirna. Akhirnya, Neta yang biasa jadi seksi sibuk, segera mengambil inisiatif. Bubaran teman kelas Cinta siap-siap. Dengan kendaraan Peter, mereka mencari rumah Mirna. Jauh juga ternyata. Sekitar sejam naik mobil. Untungnya pakai kendaraan pribadi.
Rumah Mirna tidak terlalu besar, kalau tidak bisa dibilang kecil. Kesan sederhana terlihat jelas ketika mereka menapak masuk ke dalamnya. Seorang anak perempuan, mungkin adik Mirna menyilakan duduk. Lalu sambil melompat-lompat berlari ke dalam dan berteriak nyaring.
Mirna sakit karena dipukuli oleh Bapaknya. “Bukan Ibu yang memukuliku, Cinta. Tapi Bapak” suara Mirna geram “Bapak mengajarku seperti binatang!” Cinta tidak mengerti. “Dan perempuan itu hanya diam melihat anaknya disakiti. Jangankan melindungi, menatapku yang berdarah-darah saja, tidak!” Segala sesuatu mulai jernih. Cinta mengerti, terutama kalimat terakhir Mirna, yang diucapkan dengan sorot kebencian.
“Kalau boleh milih, aku lebih suka dipukuli Ibu, dari pada punya ibu yang tidak sudi membela anaknya!” Sore itu, Cinta meninggalkan rumah Mirna, dengan pemikiran lain. Dulu ia kira, betapa besar pun kesalahan seorang anak, ibu – terutama ibu kandung – tidak mungkin membiarkan anaknya teraniaya.
4.6.Niat Suci
Cinta menyandarkan kepala di atas pangkuan Mbok Nah. Mendengarkan saja perempuan tua menembang. Dia enggan menyela. Meski dalam hatinya berbagai pertanyaan tumpang tindih.
“Non, lagi sedih, ya?” Mbok Nah yang menyadari keheningan Non tersayangnya, memulai percakapan. Cinta mengangguk pendek. “Karena koleksi uang yang diambil sama Cantik?” Cinta hanya diam. Merenung. Sebentar lagi ia ulang tahun. Bukannya memberi hadiah, atau setidaknya menyenangkan hati saudaranya, Cantik malah menguji kesabarannya.
“Mbok?”
“Ya Non Ayu. . .”
“Ibu Cinta dulu baik nggak, sih?”
“Ibu baik, Non. Mbok tidak pernah sekalipun dimarahi. Dia sabar, hatinya juga halus, tidak tegaan. Ibumu cepat banget nangis kalau melihat orang susah.”
“Cinta ingin membuat Ibu bangga di alam sana, Mbok!”
Dulu, perkataan yang sama, pernah didengarnya dari mulut perempuan yang melahirkan Non-nya. Ia ingat Ayuningsih usai melahirkan, dengan keringat sebesar jagung di dahi, mendekap Cinta yang masih merah. Parasnya mengembangkan senyum bahagia. Ia tidak bisa melupakan mata bening Ayuningsih yang mengilat saat mengucapkan janji. Suaranya halus, namun bernada tegas, “Saya sudah punya anak, Mbok! Sekarang, yang saya inginkan cuma membuat dia bangga sama ibunya.”
Hari-hari perempan ayu itu memang beubah drastis setelah mempunyai anak. Ia tidak lagi mengenakan busana pendek-pendek, meskipun kala itu memang zamannya. Sebagai gantinya Ayuningsih rajin menjahit baju kurung. Juga kerudung yang setia menutupi rambut hitamnya kemana-mana. Di rumah, tidak jarang perempuan dengan tahi lalat itu minta diajarkan mengaji oleh Mbok Nah, yang diulangnya pada setiap kesempatan. Meski masih patah-patah. Meski belum lancar.
“Nanti kalau Cinta besar, biar saya nggak malu, Mbok!” ujarnya tersipu.
Keinginan besar. Niat suci.
4.7.Hijrah
Rencana itu sudah lama dipikirkan Cinta sejak ia tahu lebih banyak. Sejak ia mengerti, bahwa arti hidup baginya kini adalah mempersembahkan bakti terbaik untuk almarhumah Ibu. Kalau pun ada keraguan itu hanya karena....
“Tapi aku sudah pantas belum, ya?”
Aisyah memegang tangan Cinta erat. Matanya haru. Hampir menangis malah. Hidungnya yang mancung berair. Ia sungguh tidak bisa berkata apa-apa.
“Aisyah jangan terharu dulu. Kan belum tentu?”
Ahh, Cinta-nya sudah mulai berubah. Neta merasa kekecewaan menyeruk makin dalam. Mereka selalu bersama-sama sejak kecil. Tumbuh bareng. Cinta sahabat sejatinya. Beda dengan Aisyah, yang sekalipun teman baik, tapi baru dikenal ketika SMA.
“Jadi kapan eksekusinya, Cinta?”
Gadis berambut panjang itu tak langsung menjawab. Dia sudah punya rencananya sendiri.
“Jangan nunggu nikah, kelamaan!” timpal Aisyah lagi
Cinta menggeleng.
“Nunggu lulus?”
Menggeleng lagi. Dia tidak akan menunggu selama itu. Bagaimana jika umurnya tidak sampai kelulusan dan Cinta gagal mempersembahkan baktinya yang lebih bagi Almarhumah?
Ia tak bermaksud menunda. Tapi Cinta butuh persiapan. Masalahnya, ini teramat serius bagi Cinta. Amat sangat serius!
“Allah bersama tiap niat baik, Cinta!”
5.    Bab 5 : Rahasia Terbebas
5.1.Luka Cinta
Ia memang cukup lama tertidur pulas. Namun terbangun ketika jam dinding di ruang tamu berdentang beberapa kali. Samar telinganya sempat mendengar suara gerabak-gerebuk di antara dentang jam. Cinta mengira ia bermimpi. Mimpi yang sangat buruk. Gadis itu merasa dijambak dengan keras. Kemudian leher dan wajahnya dilanda rasa tidak nyaman yang luar biasa. Seperti penyakit gatal yang mengerikan dan membuat orang ingin begitu menggaruk.
Ketika kemudian Cinta mengubah posisi tidur, dua tangannya yang menyentuh sprei, mencari tempat dingin, merasakan sesuatu yang terserak. Kemana pun tangannya menyusuri sprei, sesuatu itu seperti mengikuti. Cinta mengucek mata. Kaget oleh benda asing yang masuk seketika, dan membuat matanya nyeri, hingga Cinta harus bersusah payah mengedip-edipkan mata sampai berair.
Seketika Cinta terbangun. Terduduk di sisi pembaringan, Cinta menyadarai sesuatu. Awalnya ia tak percaya dan mengira itu bagian dari mimpi yang terputus. Pasti ada penjelasan kenapa kepalanya terasa ringan. Juga helai-helai kehitaman yang memanjang dan berserakan mengotori di tempat tidur. Cinta terbelalak. Ia tida bermimpi. Helaian hitam itu tak lain rambutnya sendiri. Seseorag telah menggunting rambut Cinta ketika tidur, hingga serpih-serpihannya berserakan di sprei dan sebagian melekat di tangan juga leher. Cinta menyentuh leher. Merasa ganjil oleh ujung-ujung rambut sangat pendek, dan tak rata. Detik itu dia merasa hatinya tercabut, meninggalkan luka berdarah yang melemparkannya pada lorong frustasi yang panjang.
Rambut itu adalah kebanggannya. Tangannya sendiri yang merawat sejak kelas dua sekolah dasar. Terkadang Mbok Nah membantu menguncir atau mengepang rambutnya dan menyelipkan pita serta jepit rambut. Hanya setelah besar, Cinta merasa lebih praktis dengan kuncir satunya.
Cinta menangis teramat sedih. Luka di hati gadis itu semakin menganga manakala matanya menemukan foto-foto di dinding, yang bisa menawarkan keteduhan, telah terenggut paksa dan kini bertebaran di lantai. Cinta menjerit dalam hati. Terluka.
Ikhlaskan Cinta. Ikhlaskan!
Ketika azan Subuh berkumandang, Cinta menunaikan salatnya lebih khusyuk dari biasa. Semuanya ia tumpahkan kepada Allah. Kesedihan, kekecewaan, rasa takut dan gamang, juga kemarahan, yang seluruhnya lebur menjadi kepasrahan. Ia benar-benar mengadu.
Hari ini hari ulang tahun Cinta yang ketujuh belas. Semua orang telah menunggunya dibawah, Cantik dan Anggun terus menggerutu karena Cinta tak kunjung turun. Mbok Nah mencoba mengetuk pintu kamarnya, tetapi Cinta masih butuh waktu untuk dikamarnya. Cinta mengambil sebuah bungkusan di atas lemari. Kaus cantik berwarna pink dan rok panjang dari bahan jins, juga sehelai kain. Untuk hari ini saja, setidaknya Cinta akan berusaha mengompromikan penampilan, dia akan berdandan semanis mungkin kelau perlu, untuk membuat orang yang begitu pengecut menggunting rambutnya tadi malam menyesal melihat ketenangan Cinta.
Bismillah. . .
Cinta menatap penampilannya sekali lagi. Lalu pelan memutar gerendel pintu kamar. Mendekati tangga, Cinta bisa mendengar obrolan riuh-rendah., yang mendadak berhenti, seiring langkahnya turun. Semua orang kaget melihat penampilan Cinta yang baru.
Cinta telah mempersiapkan lahir batinnya untuk hari ini. Ia akan jadi sebaik-baik anak, agar bisa mengalirkan pahala terus menerus pada Ibu. Cuma itu bakti satu-satunya yang mungkin belum ia persembahkan, kepada Ibu yang telah berpulang.
Mudah-mudahan Ibu bangga, padaku. Aamiin.
5.2.Kabar yang mengejutkan
“Menurutku biar cuek, Papa masih berpikir tentang kamu Cinta. Uang itu perlu buat jaga-jaga. Aku ras Mama Alia nggak tahu deh!”
Sekonyong-konyong, ada suara lain menyambar kalimat Neta yang barusan diucapkan dengan cukup keras.
“Apanya yang Tante nggak tahu, Neta?”
Suasana mendadak senyap, mirip kompleks perkuburan di mala hari. Cinta menggigit bibir, sementara Aisyah melongo. Neta? Gadis itu langsung pucat pasi!
“Apanya yang Tante nggak tahu, Neta?”
Pengulangan kalimat itu semakin membuat Neta mati kutu. Lalu entah dapat ide dari mana, cewek yang sedang tersudut itu mejawab asal-asalan, “Anu, Tante. . . Makky nembak Cinta. Tante. . . Tante belum tahu, kan?”
Mama Alia kaget.
Cinta apalagi!
Benar saja. Malamnya kamar Cinta digedor keras. Dengan mata sedikit mengantuk, Cinta membuka pintu. Rambutnya yang belum sempat dirapikan setelah peristiwa mengenaskan malam sebelumnya, menyita perhatian Anggun dan Cantik.
Semula Cinta menjelaskna panjang lebar. Apalagi kalau ingat, bahwa dua saudara tirinya bisa jadi orang yang bertanggung jawab soal pemotongan rambut Cinta. Aisyah pernah bilang, tidak baik berprasangka buruk. Tapi, susah untuk menepis kemungkinan yang melompat di benaknya sejak kejadian itu.
5.3.Rahasia enam belas tahun
“Mbok mau ngomong sebentar.”
Cinta cepat-cepat mengangguk, tangannya membuka pintu lebih lebar, membiarkan Mbok Nah melangkah masuk. Mereka duduk berhadapan. Cinta memilih duduk tak jauh dari Mbok Nah. Keduanya berhadapan di atas lantai keramik yang terasa lebih dingin dari biasa. Terjadi keheningan sangat lama.
Perempuan itu pun memutuskan mengikuti naluri. Hati-hati, Mbok Nah meletakkan sesuatu ke pangkuan Cinta. Gadis berusia tujuh belas tahun itu nyaris memekik menyadari apa yang dilihatnya. Sebuah foto! Setelah begitu lama Cinta bertanya-tanya, seperti apa wajah ibunya. Bagaimana bentuk alis, mata, hidung, bibir, dagu perempuan yang melahirkannya. Cinta tahu dia tidak mirip Papa. Itu menggiringnya ke pertanyaan lain, mirip Ibu kah dia?
Di foto lusuh itu tampak Ayuningsih dengan baju kurung dan kerudung, menggendong bayi yang berusia kurang dari setahun.
Ibu!
Cinta disergap keharuan luar biasa. Bibirnya bergetar, meski tersenyum, sedang air mata pelupuk siap menggulir.
Awalnya Cinta tidak mengerti, dikirinya Mbok Nah akan memberinya foto-foto lain. Agar ia puas memandangi berbagai wajah Ibu. Tapi amplop itu kosong dan Mbok Nah tak hendak menjelaskan.
Cinta merayapi amplop putih kusam di tangannya. Mebolak-balikkan. Dia tak menemukan apa pun yang mampu menjernihkan keadaan, kecuali nama Mbok Nah di bagian depan, dan sebuah nama lagi di bagian si pengirim. Nama yang melekat kuat di hatinya.
6.    Bab 6 : Izinkan Aku Mencarimu
6.1.Menelusuri jejak surga
Harusnya mungkin dia menunggu. Masa sekolah sebentar lagi usai, dan mereka akan bersiap mengikuti ujia masuk perguruan tinggi. Setelah itu adalah hari-hari panjang menanti hasil belajar selama tiga tahun. Tapi Cinta tak sanggup menunda. Penjelasan Mbok Nah semalam membuatnya tidak sabar menunggu pagi datang. Gadis itu memang tidak memerlukan waktu lama untuk memutuskan apa yang harus dilakukan. Sudah waktunya untuk terbang, sebab rindunya kini punya tujuan.
“Kosong, ya?”
Seorang anak muad, dengan kemaja kotak-kotak lusuh dan berantakan, tahu-tahu menunjuk kursi disamping gadis itu. Cinta hanya menjawab dengan anggukan kepala.
“Saya duduk di sini, ya?”
Laki-laki itu bernama Adji, Cinta dan Adji saling berkenalan. Walaupun sikap Cinta yang agak cuek  karena mungkin isi hati dan pikirannya masih terpenuhi oleh pencarian Ibunya.
6.2.Jejak di Langit Jakarta
“Ke Jakartanya mau ke mana?”
Cinta mengeluarkan sebuah amplop lusuh dari saku, dan menyodorkan pada Adji. Adji membaca sesaat. Wajahnya langsung kaget.
“Wuihh, ini daerah gawat. Yakin mau ke sini?”
Cinta mengangguk, “Kenapa?”
“Daerah kelam lagi! Biasa disebut Bongkaran. Ini daerah rawan, Non. Apalagi kamu cewek. Dah gitu sendirian. Jangan deh!”
Tapi bukan Cinta kalau dengan mudah tergoyahkan. Hidup bersama Cantik dan Anggun serta Mama Alia telah mengasah jiawanya.
“Saya harus ke sana!”
Adji mengangkat bahu.
“Siap-siap yuk! Kalau kamu nggak keberatan, gue temani deh. Tapi sampai situ aja ya? Soalnya rumah gue  masih jauh!”
Ditemani?
Cinta ragu. Tapi Adji sudah bangkit dan berjalan cepat menyusuri gerbong demi gerbong, tidak memberinya waktu untuk berpikir. Meski mengambil jarak, Cinta mengikuti langkah Adji. Menyelip di antara penumpang kereta lain yang bersiap-siap turun.
Jakarta, hari pertama
Cinta berdiri masygul. Di dekatnya Adji melemparkan pantan ke tempat duduk di halte. Ketika turun dari mikrolet tadi, Cinta belum mengerti benar perkataan Adji soal daerah rawan. Tapi setelah berjalan sedikit, dan menuruni jembatan, mengikuti jalan setapak yang bersisian dengan rel kereta api, baru Cinta mengerti.
Jadi, seperti ini Bongkaran, tempat yang menyimpan jejak ibunya. Beberapa lelaki berpakaian preman, dengan wajah sangar dan sorot mata tajam, mengikuti langkah Cinta. Gadis itu berjalan di belakang Adji setenang mungkin, melintasi satu demi satu perumahan kumuh di samping rel. Melewati beberapa perempuan yang sedang tidur-tiduran dengan pakaian sekadarnya. Atau duduk mengangkat kaki di warung minuman, sambil tertawa genit dengan beberapa lelak. Sebagian lagi asyik mengobrol dengan rokok terselip di bibir.
Adji dan Cinta menanyakan foto ibunya ke beberapa orang, tetapi tak ada satu pun yang tahu. Dan akhirnya ia menemukan seorang perempuan tua yang mengetahui Ayuningsih. Perempuan itu sedikit berceria tentang Ayuningsih, tetapi sekarang Ayuningsih sudah tidak tinggal lagi disini. Cinta dan Adji mendapatkan informasi terakhir dari salah seorang warga, bahwa Ayuningsih pindah ke Kalijodo sebagai tukang urut.
6.3.Teka-teki di Komplek Pelacuran
Mata gadis itu terpaku pada kerumunan orang yang berjejal mengamati sebuah meja kecil panjang, berukuran sekitar tujuh meter, di depan mereka. Heran, kenapa orang-orang itu mau memenuhi tempat yang tidak seberapa besar, dan berdiri dalam kepadatan dan udara siang yang menyengat.
Kepala Cinta teras pusing, Adji meminta Cinta untuk duduk terlebih dahulu. Adji yang akan menanyakan keberadaan Ibu Cinta.
“Mereka tidak tahu dimana ibumu, Cinta. Sebab sudah lebih dari empat tahun ibumu meninggalkan tempat ini”
Cinta memburu.
“Kemana?”
Adji menatap gadis itu dengan mata yang sulit diterjemahkan Cinta.
“Ini alamatnya. Tidak jelas, tapi mudah-mudahan bisa dicari”
Cinta membaca tulisan tangan Adji di atas selembar notes kecil. Bandung.
Adji kaget. Tiak menyangka Cinta setanggauh itu. Juga keras kepala. Diam-diam Adji bersyukur, Cinta tidak perlu mendengar komentasr seperti yang mereka dapatkan di Bongkaran.
6.4.Jejak di Langit Bandung
Bandung, hari kedua.
Cinta menikmati suasana pagi yang masih dingin. Lututnya didekapkan ke dada. Sementara mata peri-nya yang penat menjelajahi langit-langit kamar yang terasa asing. Semalam tidurnya pulas sekali di kereta. Cinta bahkan tidak menyadari dia sudah tiba di tujuan, sampai seorang ibu yang duduk di sebelahnya membangunkan. Terjadi sedikit percakapan dengan Ibu itu. Hari sudah malam, Cinta tak tahu harus tidur dimana. Si Ibu baik hati itu menawarkan Cinta untuk menginap di rumahnya.
Bandung, hari ketiga.
Dua hari Cinta mengubek-ubek Kota Kembang, dia tak menemukan apa-apa. Tidak sebuah jejak pun. Alamat yang dikantonginya tidak memberi petunjuk berarti. Waktu Cinta mencari ke alamat baru yang diperolehnya, Cinta hanya menemukan bangunan yang sedang diratakan. Orang-orang bilang, di sana akan dibangun sebuah mal, yang tidak kalah besar dari BIP.
Ada beberapa pesan masuk ke handphone Cinta, ada juga panggilan masuk. Tapi Cinta tidak menghiraukannya sekalipun itu dari Makky.
6.5.Jejak di Langit Jogja
Jogja, hari keempat.
Ada dua pesan masuk, dari Makky dan Adji.
Berapa peluang yang dia miliki? Cinta tak tahu. Sejak awal dia berusaha tidak dipengaruhi oleh besar kecilnya peluang. Semua menjadi tidak penting setelah dihadapkan pad rindu yang berlapis-lapis, mimpi bertahun-tahun.
Cinta ragu-ragu melangkahkan kaki. Pasar Kembang di waktu siang biasa saja di mata Cinta. Beberapa perempuan terlihat mengobrol di teras rumah-rumah petak yang sangat sederhana. Sebagian penduduk bersender sekadar menangkap angin. Namun mata-mata mereka membesar ketika sosok Cinta pelan-pelan melangkah mendekati.
Cinta bertanya kepada orang sekitar tentang Ibunya, tetapi tidak ada seorang pun yang tahu.
Cinta bertanya pada seorang bapak-bapak, terjadi sedikit percakapan.
“Cuma ada satu lelaki dalam hidup Ayuningsih. Lelaki yang dihormati dan dicintainya sungguh-sungguh. Lelaki yang memberinya kehidupan baru bagi Ayuningsih, namun juga melemparnya kembali ke selokan hanya karena omongan perempuan lain! Bodoh!”
6.6.Buntu
Cinta bukan gadis cengeng. Tapi baru kali ini dia ingin menangis sejadi-jadinya. Jika saja mungkin, tentu sudah diajarnya lelaki brengsek tadi. Keduanya sekaligus. Termasuk preman sok jago yang barusan dengan kasar mendorongnya ke jalanan.
Cinta duduk di emperan. Mengusap air mata yang mengalir deras di pipi dengan lengan kaus panjangnya. Inikah akhir pencarian? Harapan dan mimpi-mimpinya? Beberapa hari menggelandang, semua untuk kesia-siaan. Cinta mengeraskan buku tangan-tangannya. Kesal.
Tapi Cinta harus tetap berusaha untuk mencari ibunya. Neta, Aisyah, Makky menjemput Cinta di Jogja. Sebenarnya Cinta tidak memintanya, dan ia ingin mencari jejak ibunya sendirian. Tetapi bagaimana lagi mereka datang dengan sendirinya. Dan mungkin dengan mencari bersama-sama akan segere ditemukan.

6.7.Saat Cinta Bersujud
Jogja, hari kelima.
Kasongan, terletak di Bantul, sebelah barat Jogjakarta. Daerah pinggiran dimana sawah masih terbentang di atas tanah kering kecoklatan. Penduduknya selain bertani, juga mencari penghasilan dengan menjadi pengrajin gerabah.
Cinta menemukan sebuah alamat sepertinya yang akan menjadi akhir dari pencarian Ibunya. Bus yang mereka tumpangi masih melaju dengan tenang. Cinta dan teman-temannya duduk tanpa banyak bicara.
Bertemu Ibu hari ini. Ya. . .
Cinta semakin memperkuat doanya. semoga Allah memberinya kesempatan bertemu dengan Ibu, memeluk dan menciumi wajahnya, lalu bersimpuh di kakinya, di mana surga terlukis disana.
Akhirnya mereka tiba di alamat tujuan. Mereka mulai mengetuk pintu rumah yang sesuai dengan alamat yang ditujunya. Tidak ada jawaban, mereka terus mencoba hingga akhirnya ada juga yang membukakan pintu. Mereka ditawarkan masuk oleh pemilik rumah. Percakapan dimulai.
Perempuan tua itu menceritakan Ibunya Cinta, Ayuningsih.
Namun sayang, akhir dari cerita beliau membuat Cinta meneteskan air mata, begitupun dengan teman-temannya. Cinta masih tak percaya, setega itukah Ibu sampai tidak mau mencarinya? Sampai saat ini Ibu telah tiada. Ya Ayuningsih telah tiada, dan makamnya pun ada di belakang rumah yang didatangi Cinta dan teman-temannya. Tetapi mau bagaimana lagi jika memang ini sudah menjadi takdir Tuhan.
Dibalik kesedihan ini Cinta merasa sangat berhasil karena telah bisa menemukan sosok yang telah melahirkannya walaupun Cinta tak sempat melihatnya.
Sahabat-sahabat Cinta lega melihat betapa tegar gadis itu menghadapi semua yang terjadi. Kekuatan hati menghadapi kekecewaan, juga kesedihan atas akhir skenario-Nya yang tak sesuai dengan mimpi-mimpinya selama ini.
7.    Bab 7 : Penutup
7.1.Interview 2
Sungguh kisah yang luar biasa. Awalnya saya mengira Cinta akan membawa saya pad cerita klise ratapan anak tiri. Ternyata saya salah. Cinta tersenyum. Beberapa saat lalu saya melihat matanya memerah. Mungkin menahan perasaan. Saya bisa mengerti, karena sepanjang ceritanya, saya pun mengalami naik turun emosi
“Saya menikah dengan satu dari dua lelaki yang saya ceritakan itu Alhmdulillah”
“Yang mana?”
“Laki-laki yang menemani pencarian saya. Dan saya bersyukur Allah mempertemukan kami di waktu yang tepat. Hingga dia bisa begitu mengerti hati dan keinginan saya”
Cinta akhirnya menikah dengan seorang laki-laki yang sangat spesial untuknya. Ya Makky.
 
            C.    
1.      Tema                : Menceritakan seorang perempuan yang sedang mencari ibunya karena rindu sudah ditinggalkan selama belasan tahun.  
2.      Tokoh              :
                                                              i.      Cinta
                                                            ii.      Makky
                                                          iii.      Mbok Nah
                                                          iv.      Papah Cinta
                                                            v.      Mama Alia
                                                          vi.      Cantik
                                                        vii.      Anggun
                                                      viii.      Neta
                                                          ix.      Aisyah
                                                            x.      Iwan
                                                          xi.      Peter
                                                        xii.      Mirna
                                                      xiii.      Adji
                                                      xiv.      Salsa
                                                        xv.      Tante Rini
                                                      xvi.      Ibunda Makky
3.      Penokohan      :
                                                              i.      Cinta               : Baik, Sabar, Sportif, Tawakkal, tidak mudah menyerah.
Banyak yang bilang, Cinta punya mata indah.Mata para peri.Gadis dengan penampilan sportif itu juga dikenal memiliki hati yang baik. Jika peri-peri dalam dongeng itu benar adanya dan berhati sangat baik, maka Cinta mewarisi sedikitnya setengah kebaikan hati mereka
(Lihat hal 11, Paragraf 1)
Tengah malam, saat terbangun, Aisyah menemukan Cinta sudah menghamparkan sajadah, sedang khusyu berdoa.Wajah beningnya dalam balutan mukena putih, menengadah.Ada titi air mata yang mengalir deras, sementara bibirnya melantunkan doa-doa panjang.Tidak lama dilihatnya Cinta bersujud, lama sekali.
(Lihat hal 242, Paragraf 4)
                                                            ii.      Makky             : Baik, perhatian, dan saling berbagi.
“Nih, catat ya?” gaya Makky bak pak guru terhadap murid, “pertama pasti harus punya auto focus, supaya lebih cepat menangkap momen yang bergerak. Ini mah dasar banget.Terus harus punya motor drive.”
(Lihat hal 60, Paragraf 4)
                                                          iii.      Mbok Nah       : Sabar, pengertian dan penuh kasih sayang.
“Pembelaan, kasih, bakti dan perlindungan perempuan itu membuat Cinta menaruh hormat dan sayang. Mbok Nah adalah perisai, yang melindunginya dari cuaca buruk.”
(Lihat hal 155, Paragraf 6)
                                                          iv.      Papah Cinta     : Tidak mudah di tebak, terkadang penyayang, terkadang pemarah
“Suasana tegang.Papa membanting Koran ke atas meja makan.Kedua bola mata hitamnya menatap Cinta yang berdiri berseberangan.Papa meradang.Lelaki itu melepas kacamata.Matanya menatap Cinta tajam, lalu tangannya menggebrak meja dan mengagetkan mereka semua.”
(Lihat hal 32, paragraf 6)
                                                            v.      Mama Alia      : tidak adil, selalu memihak pada yang salah.
                                                          vi.      Cantik             : Suka berkata kasar, pemarah, berpenampilan fashionable.
Dia harus kelihatan berkelas dan fashionable.Itu alasan Cantik mengenakan celana panjang bootcut, plus kaos ketat warna merah menyala, serta rok kotak-kotak hitam putih sepaha. Biar kelihatan lebih manis, dia tak lupa memakai kalung yang terdiri dari untaian kotak-kotak kecil sebesar dadu, berwarna pink, biru, dan kuning, dan anting sebelah berbentuk rantai kecil.
(Lihat Hal 50, paragraf 6)
                                                        vii.      Anggun           : Kasar, pemarah, ketus kalau sedang berbicara dengan orang yang tidak disukainya, tidak penyabar.
Kalo tahu ngapain gue nanya
(Lihat Hal 18, paragraf 1 )
                                                      viii.      Neta                :  Baik, perhatian.
Kenapa sih nggak ngasih-ngasih kabar?Bikin orang kuatir aja!
(Lihat Hal 228, paragraf 1)
                                                          ix.      Neta                : Baik, alim, perhatian, suka makan.
Aisyah melotot.Tampang arabnya sekarang terlihat kocak dengan pipi menggembung dan mulut mungilnya mengerucut, penuh nasi.
(Lihat Hal 233, paragraf 5)
                                                            x.      Adji                 : Baik, perhatian, ramah, periang, kocak, suka menolong
“Siap-siap yuk!Kalau kamu nggak keberatan, gue temani deh.Tapi sampai situ aja ya?Soalnya rumah gue juga masih jauh!”
(Lihat Hal 174, paragraf 2)
4.      Latar
                                                              i.      Waktu :
1.      Pagi :
Pagi ini hari pertama Cinta ke sekolah dengan rok biru.
(Lihat Hal 200, Paragraf 5)
2.      Siang :
Hari sudah siang ketika Cinta dan teman-temanya berpamitan.”.
(Lihat hal 259, Paragraf 2)
3.      Malam :
Malamnya, mereka makan di salah satu warung yang menawarkan suasana lesehan.
(Lihat Hal 230, paragraf  2)

                                                            ii.      Tempat            :
1.      Sekolah :
“Sekolah selalu merupakan rutinitas yang menyenangkan bagi Cinta.”
(Lihat Hal. 85, Paragraf 3)
2.      Rumah Cinta :
“Cinta duduk di teras depan rumahnya.”
(Lihat Hal 29, Paragraf 1)
3.      Jakarta :
“Kita keliling Jakarta sama-sama Cinta.”
(Lihat Hal 170, Paragraf 1)
4.      Stasiun :
“Kreta Api Bogor-Jakarta Express melaju cepat.”
(Lihat Hal 172, Paragraf 2)

5.      Yogyakarta :
“Jogja hari keempat”
(Lihat Hal 206, Paragraf 1)

                                                          iii.      Suasana           :
1.      Tegang.
“Suasana tegang.Papa membanting Koran ke atas meja makan.Kedua bola mata hitamnya menatap Cinta yang berdiri berseberangan.Papa meradang.Lelaki itu melepas kacamata.Matanya menatap Cinta tajam, lalu tangannya menggebrak meja dan mengagetkan mereka semua.
 (Lihat Hal 32, Paragraf 4)
2.      Bahagia.
Perhatian penuh hari itu membuat Cinta serasa terbang diantara gugusan bintang.
(Lihat Hal 145, paragraf 1)
3.      Sedih.
Cinta tersedu sedan, bahunya bergoncang.Tampak sangat terpukul.Sementara perempuan tua di sampingnya memeluk gadis itu sepenuh perasaan.
(Lihat hal 256, paragraf 6)

5.      Alur     : Maju
Dalam cerita mempunyai alur cerita yang tersusun dari pengenalan, timbulnya masalah, puncak masalah, penurunan masalah, dan akhirnya timbul penyelesaian masalah.

6.      Sudut Pandang : Sudut pandang yang digunakan dalam novel ini adalah pengarang sebagai sudut pandang pertama karna pengarang serba tahu. Pengarang  menceritakan setiap kejadian yang terdapat dalam novel ini

7.      Amanat           :
1)      Jadilah pribadi yang kuat dalam menerima kenyataan buruk yang diterima dan jangan mudah putus asa dalam menghadapi permasalahan.
2)      Jangan pantang menyerah, terus berjuang dalam menggapai impian sampai kemana pun impian itu berlari.
3)      Kejujuran sangatlah diperlukan untuk menjalani kehidupan ini, karena kejujuranlah yang membuat hidup ini lebih berkah.

         D.   UNSUR EKSTRINSIK
1.      Nilai Religi
·         “Sunatullah itu artinya sudah dari sononya begitu.Ada yang putih ada yang hitam, ada yang hak ada yang batil.Ada yang baik dan ada yang jahat.” (Halaman : 88)
·         “Ada tiga perkara, yang akan menolong orang yang sudah meninggal.Pertama amal jariyah, kedua ilmu yang bermanfaat, dan ketiga adalah anak yang salih dan salihat.”
(Halaman : 101)
·         “Allah mulai hari ini , kusandarkan diri sepenuhnya padaMu.”
(Halaman : 137)
2.        Nilai Estetika
·         “Setiap melihat langit malam luas begini, gue inget malam-malam di lantai paling atas di Masjidil Haram.”
(Halaman : 79)
·         “Cinta menatap Neta, Aisyah, Makky, dan Adji dengan senyum terukit tak terputus-putus, Allah membei banyak kejutan hari ini.”
(Halaman : 229)
3.            Nilai Moral
·         “Kalau orang tua bicara, jaga sikapmu!”
(Halaman : 70)
4.        Nilai Sosial
·         “Bubaran sekolah, lima anak siap-siap.Dengan kendaraan Peter mereka mencari rumah Mirna.”
(Halaman : 108)
·         “Cinta benar-benar terharu.Teman-temanya mau bersusah payah datang, keluar ongkos dan biaya sendiri selama di Jogja.”
(Halaman : 239)
·         “Hati Cinta berdetak.Terharu dengan kebaikan si Ibu.Bukan hanya peduli, kini bahkan menawari Cinta tempat menginap.”
(Halaman : 197)