A. IDENTITAS
1. Judul : Cinta di Ujung Sajadah
- No. ISBN :
978-602-7595-13-2
- Penulis : Asma Nadia
- Penerbit : REPUBLIKA
- Tanggal
terbit :
Juli, 2012
- Cetakan
: Kesatu, Juli 2012
- Halaman :
292
- Ukuran : 13,5 cm x 20,5 cm
- Harga
: Rp.20.000,00.-
B. KEPENGARANGAN
Asmarani
Rosalba (lahir di
Jakarta tahun 1972), lebih dikenal sebagai Asma Nadia, adalah penulis Indonesia. Ia lahir dari pasangan Amin
Usman dan Maria Eri Susianti. Saat ini dikenal sebagai Ketua Forum Lingkar
Pena, suatu perkumpulan yang ikut dibidaninya untuk membantu penulis-penulis
muda. Ia juga menjadi Ketua Yayasan Lingkar Pena, dan manajer Lingkar Pena
Publishing House. Karena karya-karyanya ia pernah mendapat berbagai
penghargaan. Selain menulis, Asma sering diminta untuk memberi materi dalam berbagai
loka karya yang berkaitan dengan penulisan serta keperempuanan, baik di dalam
mau pun di luar negeri. Terakhir dalam perjalanannya keliling Eropa usai
mendapatkan undangan writers in residence dari Le Chateau de Lavigny (Agustus -
September 2009), Nadia sempat diundang untuk memberikan
workshop dan dialog kepenulisan al. di PTRI Jenewa, Masjid Al Falah Berlin
(bekerja sama dengan FLP dan KBRI di sana), KBRI Roma, Manchester (dalam acara
KIBAR Gathering), dan Newcastle. Asma Nadia telah menikah dan dianugerahi dua
anak. Sejak tahun 2009 awal, Nadia merintis penerbitan sendiri: Asma Nadia
Publishing House. Salah satu buku yang diterbitkan telah dialihkan ke layar
lebar, berjudul Emak Ingin Naik Haji. Uniknya, seluruh royalti dari buku
tersebut diberikan untuk sosial kemanusiaan khususnya membantu mewujudkan mimpi
mereka yang salih dan salihat, yang rindu tanah suci tapi kurang mampu. Ada 40
buku yang sudah dia tulis yang diterbitkan oleh mizan, diantaranya:
1) Derai
Sunyi, novel, mendapat
penghargaan Majelis Sastra Asia Tenggara (MASTERA)
2) Rembulan
di Mata Ibu (2001),
novel, memenangkan penghargaan Adikarya IKAPI sebagai buku remaja terbaik
nasional
3) Dialog
Dua Layar, memenangkan
penghargaan Adikarya IKAPI, 2002
4) 101
Dating meraih
penghargaan Adikarya IKAPI, 2005
5) Jangan
Jadi Muslimah Nyebelin!, nonfiksi, best seller.
6) Emak
Ingin Naik Haji: Cinta Hingga Ke Tanah Suci (AsmaNadia Publishing House)
7) Jilbab
Traveler (AsmaNadia
Publishing House)
8) Muhasabah
Cinta Seorang Istri
9) Catatan
hati bunda
10) Karya-karya berikut ditulis bersama
penulis lain:
11) Ketika
Penulis Jatuh Cinta,
Penerbit Lingkar Pena, 2005
12) Kisah
Kasih dari Negeri Pengantin, Penerbit Lingkar Pena, 2005
13) Jilbab
Pertamaku, Penerbit
Lingkar Pena, 2005
14) Miss
Right Where R U? Suka Duka dan Tips Jadi Jomblo Beriman, Penerbit Lingkar Pena, 2005
15) Jatuh
Bangun Cintaku,
Penerbit Lingkar Pena, 2005
16) Gara-gara
Jilbabku, Penerbit
Lingkar Pena, 2006
C.
RINGKASAN
1.
Bab 1 : Cinta di Madinah
1.1.Usai Senja di Madinah
Ia bersyukur Allah mengabulkan doanya.
Mengizinkan kakinya menapaki Tanah Suci. Dan sama seperti perjalanan lain
ketika menyusuri jejak Nabi, seperti di Masjidil Haram, saat melihat Ka’bah
bangunan hitam persegi yang wangi dan memancarkan wibawa itu, air matanya tak
berhenti mengalir.
“Kamu menangis”
Suara itu memberi kehangatan, meski
udara di Madinah terasa begitu dingin. Perempuan itu mengulang nama lelaki yang
menyapanya penuh cinta itu dalam hati. Berdua mereka masih saja berdiri
menghadap bangunan artistic berhiaskan lampu yang tegak di hadapan. Senja baru
saja usai di Madinah. Kota dimana tempat masjid yang paling dicintai Nabi.
Didalamnya ada jejak dua buah rumah dari hamba-hamba Allah yang paling saleh.
Rumah Nabi dan Aisyah, serta rumah Ali dan Fatimah.
Sulit mencegah tangis yang selalu ingin
tumpah.
Laki- laki yang berdiri disisinya pasti
mengerti.
Dan senja ini adalah kali pertama mereka
melangkah di Raudhah, taman yang berada di antara makam dan mimbar Nabi.
Assalaamu’alaika
ya Rasuulallahi. . .
Bibirnya yang dingin bergerak-gerak.
Lelaki yang di sisinya melakukan hal
yang sama. Mereka tidak hanya berdua, sebab jamaah masih berlalu lalang.
Musim dingin di Madinah. Dan perempuan
itu bahkan tidak mengenakan baju hangat yang cukup tebal, seperti seharusnya.
“Cinta . . .”
“Kita Pulang . . .”
1.2.Interview I
Siapakah
Cinta?
Saya belum lama mengenal perempuan yang menurut
saya luar biasa itu. Dalam usia dua puluh tujuh, sosok cantiknya telah akrab di
mata ribuan anak-anak yatim piatu. Konon sejak lepas SMA, lalu melanjutkan
kuliah, gadis itu telah rajin menyambangi panti asuhan dan pesantren, sebelum
kemudian memiliki beberapa rumah yang kini tersebar di Tanah Air.
Cinta masih muda, cantik, postur tubuhnya lebih
dari bagus. Suaminya pun mapan. Cinta sendiri bekerja sama dengan Ibu Mertua
dan teman masa kecilnya, memiliki usaha butik yang tidak hanya di Tanah Air,
tetapi memiliki beberapa cabang di laur negeri.
Cinta, perempuan berkerudung merah muda itu
tersenyum. Di pangkuannya bergayut seorang bayi berusia tujuh bulan. Sementara sejak
tadi pertanyaan saya belum juga terjawab lantaran Cinta sibuk menanggapi
celoteh balita yang bermain di sekitar kami.
Cinta meladeni setiap sapa, pertanyaan atau jika
itu berupa sentuhan terkesan tidak penting, dengan kasih seorang Ibu. Saya
terharu melihatnya. Tidak satupun dari anak-anak itu lahir dari rahim Cinta.
2.
Bab 2 : Melintasi Ruang Waktu
2.1.Selamat Malam, Cinta
Banyak yang bilang, Cinta punya mata indah. Mata
peri. Gadis dengan penampilan sportif itu juga dikenal memiliki hati yang baik.
Jika peri-peri dalam dongeng itu benar adanya dan berhati sangat baik, maka
Cinta mewarisi sedikitnya setengah kebaikan mereka.
Sebagai remaja tentu saja Cinta tak lepas dari
sikap-sikap seperti umunya gadis berusia enam belas tahun. Kadang-kadang
tingkah isengnya timbul, tapi sejauh ini rasanya tak pernah sampai menyakiti
orang lain. Satu-satunya saat gadis berkuncir itu merasa telah bersikap kasar
dan begitu buruk, justru ketika ia berhadapan dengan anggota keluarganya, yang
sama-sama tinggal di rumah mentereng itu.
Tapi ia hanya membela diri.
Enam belas tahun ia belajar membela diri hanya
berdasarkan naluri. Enam belas tahun! Waku yang cukup panjang untuk mengetahui
kapan dia harus bersikap agresif, kapan dia harus reaktif, kapan dia harus. . .
menyerang.
Tapi ia
bukan peri.
Di lantai bawah, kemeriahan pesta ulang tahun
perkawinan Papa dan Mama Alia berlangsung. Persiapannya sudah sejak dua bulan
yang lalu. Mama Alia menginginkan sebuah pesta yang meriah, dan untuk itu ia
telah menyewa jasa seorang EO, Even
Organizer terkenal.
Semula Cinta ikut menyambut tamu yang datang. Tapi
suasana meriah malah menyisihkannya pada sepi dan rindu. Perlahan ia mundur dan
mengurung diri di kamar. Cinta asyik berkali-kali membuka dan menutup
kotak-kotak miliknya, mengenang masa lalu. Terakhir,Cinta mengambil sebuah
kotak lain dan mengeluarkan isinya. Inilah milik Cinta yang paling dihayatinya
sepenuh perasaan. Koleksi terakhirnya. Cinta menatap wajah-wajah yang
memancarkan sejuta kasih pada lembaran foto yang terserak di tempat tidur.
Foto-foto itu, dengan caranya yang aneh, senantias mengalirkan pelukan keibuan,
yang nyaris tak meninggalkan jejak lagi dalam ingatan Cinta. Sejak itu Cinta
sering tertidur dengan foto-foto terserak di dekatnya. Sebagian berada dalam
pelukannya, sebagian lagi terkadang menempel di dahi, memberi Cinta ciuman
sebelum tidur.
2.2.Rindu ini untukmu
“Pa,
bagaimana Mama meninggal?”
Suatu hari dalam kehidupan Cinta, ia melontarkan
pertanyaan itu pada laki-laki yang dipanggilnya Papa, namun semakin lama terasa
asing. Pengaruh pertanyaan Cinta yang kala itu kelas empat SD sungguh
mengejutkan.
Dari dulu ia selalu iri melihat keakraban
teman-teman sekelasnya dengan ibu mereka. Ia cemburu melihat Mimi selalu
diantar ke sekolah oleh Mama-nya. Juga Tia dan Neta. Malah Mamanya Neta lebih
baik lagi. Selalu menggandeng tangan anaknya sampai depan kelas.
Ia masih kecil, dan tak punya ingatan tentang
Mama. Tapi Papa yang dingin, cukup membuatnya menyimpulkan sesuatu.
Dunia laki-laki dan perempuan mungkin berbeda.
Papa dan Mama wajar berbeda. Bahwa keduanya harus dikasihi, tentu. Tapi
kejadian itu melahirkan pikiran jernih buat Cinta. Mungkin juga Neta. Mamanya,
kalau masih ada, pasti seperti Mama Neta; baik, murah senyum, suka mendongeng,
dan membuatkan kue yang enak-enak.
“Kalau Papamu dulu, Net?”
“Sebelum pergi?” “Papa sibuk, mulu. Nggak pernah ajak
aku main. Paling juga dulu waktu masih sama Mama, kita jalan-jalan. Tapi
biasanya Papa buru-buru pulang, terus pergi lagi sendiri.”
Jalinan hati Cinta dan Neta di kemudian hari
semakin erat. Cinta tak punya Mama, dan Neta tak punya Papa. Klop! Meski dalam hati gadis cilik
berkuncir itu sering membatin, rasanya ia seperti tak punya Mama dan Papa
sekaligus. Mama Alia dengan dua anaknya benar-benar merebut sedikit sisa waktu,
yang harusnya ia miliki bersama Papa.
2.3.Tak ada surga disini
Cinta
duduk di teras.
Barusan ia ribut lagi dengan anak-anak tersayang
Mama Alia. Padahal gara-garanya sepele. Tapi kedua saudara tirinya memang sering
membesarkan hal-hal remeh. Biasanya pula, Papa yang tidak mau ribut, cepat
memvonis dan menjatuhkan hukuman. Untuk Cinta.
Benar-benar hari kelabu. Ia tidak bisa membiarkan
diri diserang terus. Bukan saja hal itu akan membuat Anggun dan Cantik besar
kepala. Tapi sikap yang sering tidak adil harus diluruskan.
Kerinduannya pada ibu kandung lantas saja
meledak-ledak. Seperti kembang api raksasa di malam tahun baru. Megah, besar,
menyala terang. Tak bisa disembunyikan. Air mata Cinta nyaris tak terbendung.
Tapi seperti biasa Cinta tak membiarkannya mengalir. Menangis hanya menunjukkan
kelemahan dan menyumbang kegembiraan pada mereka yang telah menabur kesedihan
padanya. Pikir gadis itu berkeras hati.
Perempuan bertubuh gemuk yang suka memakai daster
batik itu sudah lama di sana. Hidup dan menyaksikan babak demi babak
penderitaan Non tersayangnya. Ia paham kesedihan yang dimiliki Cinta. Sebab
semua tertangkap tak Cuma oleh mata, tapi juga hati. Kasihan Cinta, batin Mbok Nah. Selalu
saja disalahkan.
Cinta kelas satu SMA. Belasan tahun hanya dengan
kasih Mbok Nah. Ia masih rindu Mama. Sangat. Dan menjadi sangat kesal, dengan
sikap beberapa temannya yang menurutnya tidak bersyukur.
Sementara Cinta . . .
Jika saja Mama masih ada, Cinta siap sujud dan
mencium kaki perempuan itu.
3.
Bab 3 : Laki-laki Matahari
3.1.Makky Matahari Muhammad
Makky. Lima huruf itu yang tiba-tiba muncul dan memberikan
warna baru dalam kehidupan rutin Cinta. Barangkali seperti perasaan Tinkerbell,
tokoh peri dalam dongeng anak-anak, saat Peter Pan hadir.
Sore sepulang sekolah, Cinta menyaksikan hal yang
tidak biasa di depan rumah. Sebuah truk barang yang besar terparkir di pinggir
jalan. Beberapa lelaki tempak sibuk menurunkan dan memindahkan perabot.
Dalam lalu lalang itu Cinta menangkap bayangan cowok bercelana jins, dengan t-shirt putih. Sosok tegapnya mondar-mandir mengatur
lalu-lalang barang. Wajahnya tampak berkeringat.
Cinta menundukkan kepala ketika melangkah menjauh.
Sesaat tadi ia kebingungan harus memanggil nama itu dengan “Kak” atau “Bang”.
Pikiran itu membuatnya malu, meski cepat-cepat disingkirkannya. Apa salahnya
memanggil begitu. Meski wajah terbilang cute,
tapi Makky jelas terlihat lebih dewasa.
Makky mengangguk dan melambaikan tangan, namun tak
bisa membebaskan diri, karena Cantik keburu mencegat jalan cowok tegap itu.
3.2.Cinta Berpelangi
Pertemuan dengan Makky membawa angin segar buat
Cinta. Sebab selain Anggun dan Cantik akhir-akhir ini tak banyak cari gara-gara
dengan dia atau Mbok Nah, juga karena perkenalan itu membawa Cinta pada sosok
imut bernama Salsa, yang masih sekolah kelas lima SD. Salsa lucu dan asli
menggemaskan. Tidak segan-segan adik kecil Makky itu mengganggunya di rumah.
Berdua mereka main di kamar Cinta yang bernuansa ungu.
Mungkin Makky suka cewek yang cerdas?
Mungkin Makky menyukai Cinta?
3.3.Dunia Makky
“Pasti
mahal ya, Makky?”
Makky meletakkan kamera yang baru dibersihkan
dengan hati-hati. Untunglah belum terlalu kotor, hingga cukup menggunakan blower.
Cinta banyak menanyakan sesuatu pada Makky tentang
fotograper. Sebenarnya agak malu juga banyak tanya, apalagi yang ditanyakan hal-hal
mendasar banget. Tapi Cinta
benar-benar ingin tahu.
Cinta manggut-manggut. Biar tidak seratus persen,
dia kan harus pura-pura paham. Biar gurunya tak putus asa mengajarnya. Tapi ternyata
Makky memang hebat. Cowok itu bukan hanya hobi motret, namun tampaknya
sudah menghasilkan banyak gambar bagus.
Jemari Cinta masih menyusuri kamera-kamera yang
tertata rapi di lemari pajangan. Makky mengikuti telunjuk Cinta. Asli, dia
tidak perlu kesabaran ekstra untuk menjelaskan serba-serbi bidang yang
dicintainya.
Makky menunjuk sebuah kamera medium format model
lama yang dua lensa, merek Rolleiflex. Sekilas matanya melirik Cinta yang
terlihat sungguh-sungguh antusias. Padahal cewek-cewek
lain umumnya sudah kabur mendengar
penjelasannya. Atau mengangguk dan hanya bergumam, hmm. . .hmm. . .hmm. . .
tapi Cinta tidak. Entah apa yang membuat gadis ini terlihat sangat berminat dan
ingin tahu. Hal yang membuat Makky juga tambah semangat membagi apa yang dia
kuasai.
4.
Bab 4 : Ujian Cinta
4.1.Catatan Tiga Hati
Jalanan di bawah sepi. Kediaman Makky dan Salsa
terlihat seperti rumah-rumahan dari korek api. Suasananya makin lama kian
gelap, karena satu per satu lampu mulai di padamkan. Di atas mereka langit
terhampar seperti bentangan sajadah biru tua.
Tiga gadis berpelukan, dalam malam yang pucat, di
antara tart cheese dan black forrest,kripik nangka, abon sapi,
dan Josh Groban yang belum bungkam.
“Aisyah, pernah nggak berpikir bahwa
sebetulnya Ummi mungkin juga malu dengan pandangan umum. Pasti bukan Cuma kamu
yang berpikir begitu kan? Udah tua
kok hamil?”
Kalimat Cinta yang terdengar bijak menyalakan
harapan.
Ia memang tidak bisa diam saja melihat Aisyah
bersedih. Cinta cukup mengenal Ummi, perempuan bertubuh besar keturunan Arab
Betawi, yang hangat. Di antara teman-teman mereka, sepertinya Ummi satu-satunya
orang tua murid yang selalu memeluk teman-teman anaknya dengan keramahan yang
kaya dan tulus.
4.2.Ikhlaskan, Cinta. . .
Keributan besar memang tinggal menunggu waktu.
Cinta dan Salsa sedang menempelkan foto-foto di
dinding ketika Anggun tiba-tiba menggedor pintu kamar Cinta. Entakan keras yang
berulang-ulang di pintu, jelas mengagetkan Salsa. Gadis dengan bibir mungil
menggemaskan itu langsung pucat pasi. Apalagi setelah melihat tampang judes
Anggun berdiri di mulut kamar.
Anggun marah pada Cinta. Anggun menyangka Cinta
yang telah merusak komputer Anggun. Karena kemarin Cinta telah meinjam
komputernya Anggun, padahal Cinta hanya meminjam untuk browsing saja. Anggun marah-marah pada Cinta. Sebetulnya hati Cinta
mulai panas. Namun sekilas tadi ia melirik ke belakang, dan melihat mata Salsa
yang memerah. Adiknya Makky itu perasaannya memang halus, cepat nangis kalau
mendengar suara-suara keras.
Tangan mungil Salsa menyelusup dalam genggaman
Cinta.
Cepat, Cinta mengerjap-erjapkan matanya, membuang
beban ribuan air yang sempat menelaga di sana. Ia tak ingin membuat gadis cilik
di sampingnya bingung. Salsa diam. Hanya matanya yang bicara. Lalu begitu saja,
bocah SD itu memluk Cinta.
4.3.Kamar Gelap
Tante Rini melambaikan tangan. Ibunda Makky dan
Salsa itu tampak sibuk menelpon. Makky mengajak Cinta naik ke lantai atas.
Serta-merta Cinta menggeleng. Kata Aisyah, dua-duaan itu berbahaya!
“Kenapa?”
“Ke
mana?”
“Kamar!”
Cinta
makin mantap menggeleng.
“Karena . . .,” Makky menghentikan kalimatnya,
lalu dengan senyum menggoda menatap mata bulat memanjang milik gadis itu,
“karena aku bukan muhrim ya?”
Makky akan mengajak Cinta ke kamar gelapnya yang
selama ini membuat Cinta penasaran. Cinta tertawa. Langsung melompat dari
kursi. Selama ini dia penasaran banget dengan kamar gelap untuk memproses foto.
Gadis itu mengikuti langkah Makky yang melompati dua-dua anak tangga sekaligus.
Ekor kuda Cinta bergoyang-goyang. Pemandangan yang sempat dicuri Makky. Cinta
tampak manis dengan rambut panjangnya yang hanya dikuncir satu sederhana.
Mereka memasuki sebuah ruangan kecil berukuran
satu kali dua meter, yang pengap. Sebuah aroma khas yang berasal dari pori-pori
tembok menyambut cuping hidung Cinta. Di dalamnya, Cinta merasa berada dalam
lubang gelap. Hanya lampu merah redup yang menjadi sumber cahay satu-satuny.
Kesan gelap itu dipertegas dengan dinding-dinding yang seluruhnya di cat hitam.
Bahkan lubang angin pun ditutup kertas hitam.
4.4.Tali Hati
Pertengkaran makin sering terjadi antara Cinta
dengan dua saudara tirinya akhir-akhir ini. Sikap mereka semakin
sewenang-wenang. Tidak hanya kepada dia, tapi juga kepada Mbok Nah. Mama juga
kerap mencari-cari masalah untuk menyudutkankannya. Seperti kemarin pagi, Cinta
sudah hampir terlambat ke sekolah, tapi Mama malah meinta Cinta mencarikan barang
miliknya yang hilang. Padahal Anggun dan Cantik sudah siap-siap berangkat dan
mustahil mau menunggunya lebih lama.
Kalau masalahnya cuma baju, tali pinggang, topi,
tas dan aksesoris lain yang diambil Anggun dan Cantik, tanpa izinnya, Cinta
masih bisa menahan diri. Ia lebih milih mengalah daripada ribut dan buntutnya
dimarahi Papa. Terakhir, album perangko berwarna biru, kesayangan Cinta yang
diambil diam-diam oleh Anggun. Dan Cinta hanya bisa tersenyum ketika Makky
beberapa hari yang lalu bercerita tentang hobi Anggun yang luar biasa.
Privasinya sendiri sudah sejak lama diinjak-injak.
Entah dengan cara bagaimana, dua saudara tirinya selalu bisa menemukan kunci
kamar dan menerobos masuk, lalu mengacak-acak isinya hingga berantakan. Cinta
tidak mengerti, kenapa ada orang yang begitu ingin merusak benda milik orang.
Cinta menyayangi Mbok Nah, yang telah memberikan
sayap hangat, atas udara beku yang dipancarkan sekelilingnya. Tapi Cinta
beranggapan permasalahan ini begitu pribadi, jadi harus diselesaikan mereka
berdua. Dia dan sosok yang melahirkannya.
4.5.Cinta yang Patah
Cinta asyik mengutak-atik kamera barunya. Neta
memperhatikan saja, sambil sesekali geleng kepala. Kata tetangganya itu, kamera
yang dipegangnya bagus buat pemula, soalnya kamea itu full manual, jadi pengaturan
gelang diafragma lensa, speed rana,
dan fokus, serta penggunaan lampu flash dilakukan
sepenuhnya oleh fotografer, bukan camera’s
computer. Kenyataannya memang asyik. Meski jauh lebih sulit dibanding
kamera otomatis.
Obrolan anak-anak di kantin beralih ke masalah
lain. Ke masalah Mirna yang sudah lima hari tidak masuk sekolah. “Kenapa, ya?”
“Mungkin sakit?” “Harusnya kita tengok. Ujian sudah dekat. Ada yang tahu nggak alamatnya?”
Cinta mengedarkan pandangan ke sekeliling. Semua
menggeleng, tidak ada yang tahu alamat Mirna. Akhirnya, Neta yang biasa jadi
seksi sibuk, segera mengambil inisiatif. Bubaran teman kelas Cinta siap-siap.
Dengan kendaraan Peter, mereka mencari rumah Mirna. Jauh juga ternyata. Sekitar
sejam naik mobil. Untungnya pakai kendaraan pribadi.
Rumah Mirna tidak terlalu besar, kalau tidak bisa
dibilang kecil. Kesan sederhana terlihat jelas ketika mereka menapak masuk ke
dalamnya. Seorang anak perempuan, mungkin adik Mirna menyilakan duduk. Lalu
sambil melompat-lompat berlari ke dalam dan berteriak nyaring.
Mirna sakit karena dipukuli oleh Bapaknya. “Bukan
Ibu yang memukuliku, Cinta. Tapi Bapak” suara Mirna geram “Bapak mengajarku
seperti binatang!” Cinta tidak mengerti. “Dan perempuan itu hanya diam melihat
anaknya disakiti. Jangankan melindungi, menatapku yang berdarah-darah saja,
tidak!” Segala sesuatu mulai jernih. Cinta mengerti, terutama kalimat terakhir
Mirna, yang diucapkan dengan sorot kebencian.
“Kalau boleh milih, aku lebih suka dipukuli Ibu,
dari pada punya ibu yang tidak sudi membela anaknya!” Sore itu, Cinta
meninggalkan rumah Mirna, dengan pemikiran lain. Dulu ia kira, betapa besar pun
kesalahan seorang anak, ibu – terutama ibu kandung – tidak mungkin membiarkan
anaknya teraniaya.
4.6.Niat Suci
Cinta menyandarkan kepala di atas pangkuan Mbok Nah.
Mendengarkan saja perempuan tua menembang. Dia enggan menyela. Meski dalam hatinya
berbagai pertanyaan tumpang tindih.
“Non, lagi sedih, ya?” Mbok Nah yang menyadari
keheningan Non tersayangnya, memulai percakapan. Cinta mengangguk pendek.
“Karena koleksi uang yang diambil sama Cantik?” Cinta hanya diam. Merenung.
Sebentar lagi ia ulang tahun. Bukannya memberi hadiah, atau setidaknya
menyenangkan hati saudaranya, Cantik malah menguji kesabarannya.
“Mbok?”
“Ya Non Ayu. . .”
“Ibu Cinta dulu baik nggak, sih?”
“Ibu baik, Non. Mbok tidak pernah sekalipun
dimarahi. Dia sabar, hatinya juga halus, tidak tegaan. Ibumu cepat banget
nangis kalau melihat orang susah.”
“Cinta ingin membuat Ibu bangga di alam sana,
Mbok!”
Dulu, perkataan yang sama, pernah didengarnya dari
mulut perempuan yang melahirkan Non-nya. Ia ingat Ayuningsih usai melahirkan,
dengan keringat sebesar jagung di dahi, mendekap Cinta yang masih merah.
Parasnya mengembangkan senyum bahagia. Ia tidak bisa melupakan mata bening
Ayuningsih yang mengilat saat mengucapkan janji. Suaranya halus, namun bernada
tegas, “Saya sudah punya anak, Mbok! Sekarang, yang saya inginkan cuma membuat
dia bangga sama ibunya.”
Hari-hari perempan ayu itu memang beubah drastis
setelah mempunyai anak. Ia tidak lagi mengenakan busana pendek-pendek, meskipun
kala itu memang zamannya. Sebagai gantinya Ayuningsih rajin menjahit baju
kurung. Juga kerudung yang setia menutupi rambut hitamnya kemana-mana. Di
rumah, tidak jarang perempuan dengan tahi lalat itu minta diajarkan mengaji
oleh Mbok Nah, yang diulangnya pada setiap kesempatan. Meski masih patah-patah.
Meski belum lancar.
“Nanti kalau Cinta besar, biar saya nggak malu, Mbok!” ujarnya tersipu.
Keinginan besar. Niat suci.
4.7.Hijrah
Rencana itu sudah lama dipikirkan Cinta sejak ia
tahu lebih banyak. Sejak ia mengerti, bahwa arti hidup baginya kini adalah
mempersembahkan bakti terbaik untuk almarhumah Ibu. Kalau pun ada keraguan itu
hanya karena....
“Tapi
aku sudah pantas belum, ya?”
Aisyah memegang tangan Cinta erat. Matanya haru.
Hampir menangis malah. Hidungnya yang mancung berair. Ia sungguh tidak bisa
berkata apa-apa.
“Aisyah
jangan terharu dulu. Kan belum tentu?”
Ahh, Cinta-nya sudah mulai berubah. Neta merasa
kekecewaan menyeruk makin dalam. Mereka selalu bersama-sama sejak kecil. Tumbuh
bareng. Cinta sahabat sejatinya. Beda dengan Aisyah, yang sekalipun teman baik,
tapi baru dikenal ketika SMA.
“Jadi
kapan eksekusinya, Cinta?”
Gadis berambut panjang itu tak langsung menjawab.
Dia sudah punya rencananya sendiri.
“Jangan
nunggu nikah, kelamaan!” timpal Aisyah lagi
Cinta menggeleng.
“Nunggu
lulus?”
Menggeleng lagi. Dia tidak akan menunggu selama
itu. Bagaimana jika umurnya tidak sampai kelulusan dan Cinta gagal
mempersembahkan baktinya yang lebih bagi Almarhumah?
Ia tak bermaksud menunda. Tapi Cinta butuh
persiapan. Masalahnya, ini teramat serius bagi Cinta. Amat sangat serius!
“Allah
bersama tiap niat baik, Cinta!”
5.
Bab 5 : Rahasia Terbebas
5.1.Luka Cinta
Ia memang cukup lama tertidur pulas. Namun
terbangun ketika jam dinding di ruang tamu berdentang beberapa kali. Samar
telinganya sempat mendengar suara gerabak-gerebuk di antara dentang jam. Cinta
mengira ia bermimpi. Mimpi yang sangat buruk. Gadis itu merasa dijambak dengan
keras. Kemudian leher dan wajahnya dilanda rasa tidak nyaman yang luar biasa.
Seperti penyakit gatal yang mengerikan dan membuat orang ingin begitu
menggaruk.
Ketika kemudian Cinta mengubah posisi tidur, dua
tangannya yang menyentuh sprei, mencari tempat dingin, merasakan sesuatu yang
terserak. Kemana pun tangannya menyusuri sprei, sesuatu itu seperti mengikuti.
Cinta mengucek mata. Kaget oleh benda asing yang masuk seketika, dan membuat
matanya nyeri, hingga Cinta harus bersusah payah mengedip-edipkan mata sampai
berair.
Seketika Cinta terbangun. Terduduk di sisi
pembaringan, Cinta menyadarai sesuatu. Awalnya ia tak percaya dan mengira itu
bagian dari mimpi yang terputus. Pasti ada penjelasan kenapa kepalanya terasa
ringan. Juga helai-helai kehitaman yang memanjang dan berserakan mengotori di
tempat tidur. Cinta terbelalak. Ia tida bermimpi. Helaian hitam itu tak lain
rambutnya sendiri. Seseorag telah menggunting rambut Cinta ketika tidur, hingga
serpih-serpihannya berserakan di sprei dan sebagian melekat di tangan juga
leher. Cinta menyentuh leher. Merasa ganjil oleh ujung-ujung rambut sangat
pendek, dan tak rata. Detik itu dia merasa hatinya tercabut, meninggalkan luka
berdarah yang melemparkannya pada lorong frustasi yang panjang.
Rambut itu adalah kebanggannya. Tangannya sendiri
yang merawat sejak kelas dua sekolah dasar. Terkadang Mbok Nah membantu
menguncir atau mengepang rambutnya dan menyelipkan pita serta jepit rambut.
Hanya setelah besar, Cinta merasa lebih praktis dengan kuncir satunya.
Cinta menangis teramat sedih. Luka di hati gadis
itu semakin menganga manakala matanya menemukan foto-foto di dinding, yang bisa
menawarkan keteduhan, telah terenggut paksa dan kini bertebaran di lantai.
Cinta menjerit dalam hati. Terluka.
Ikhlaskan
Cinta. Ikhlaskan!
Ketika azan Subuh berkumandang, Cinta menunaikan
salatnya lebih khusyuk dari biasa. Semuanya ia tumpahkan kepada Allah.
Kesedihan, kekecewaan, rasa takut dan gamang, juga kemarahan, yang seluruhnya
lebur menjadi kepasrahan. Ia benar-benar mengadu.
Hari ini hari ulang tahun Cinta yang ketujuh
belas. Semua orang telah menunggunya dibawah, Cantik dan Anggun terus
menggerutu karena Cinta tak kunjung turun. Mbok Nah mencoba mengetuk pintu
kamarnya, tetapi Cinta masih butuh waktu untuk dikamarnya. Cinta mengambil
sebuah bungkusan di atas lemari. Kaus cantik berwarna pink dan rok panjang dari
bahan jins, juga sehelai kain. Untuk hari ini saja, setidaknya Cinta akan
berusaha mengompromikan penampilan, dia akan berdandan semanis mungkin kelau
perlu, untuk membuat orang yang begitu pengecut menggunting rambutnya tadi
malam menyesal melihat ketenangan Cinta.
Bismillah.
. .
Cinta menatap penampilannya sekali lagi. Lalu
pelan memutar gerendel pintu kamar. Mendekati tangga, Cinta bisa mendengar
obrolan riuh-rendah., yang mendadak berhenti, seiring langkahnya turun. Semua
orang kaget melihat penampilan Cinta yang baru.
Cinta telah mempersiapkan lahir batinnya untuk
hari ini. Ia akan jadi sebaik-baik anak, agar bisa mengalirkan pahala terus
menerus pada Ibu. Cuma itu bakti satu-satunya yang mungkin belum ia
persembahkan, kepada Ibu yang telah berpulang.
Mudah-mudahan
Ibu bangga, padaku. Aamiin.
5.2.Kabar yang mengejutkan
“Menurutku biar cuek, Papa masih berpikir tentang kamu Cinta. Uang itu perlu buat
jaga-jaga. Aku ras Mama Alia nggak tahu
deh!”
Sekonyong-konyong, ada suara lain menyambar
kalimat Neta yang barusan diucapkan dengan cukup keras.
“Apanya
yang Tante nggak tahu, Neta?”
Suasana mendadak senyap, mirip kompleks perkuburan
di mala hari. Cinta menggigit bibir, sementara Aisyah melongo. Neta? Gadis itu
langsung pucat pasi!
“Apanya
yang Tante nggak tahu, Neta?”
Pengulangan kalimat itu semakin membuat Neta mati
kutu. Lalu entah dapat ide dari mana, cewek
yang sedang tersudut itu mejawab asal-asalan, “Anu, Tante. . . Makky nembak
Cinta. Tante. . . Tante belum tahu, kan?”
Mama
Alia kaget.
Cinta
apalagi!
Benar saja. Malamnya kamar Cinta digedor keras.
Dengan mata sedikit mengantuk, Cinta membuka pintu. Rambutnya yang belum sempat
dirapikan setelah peristiwa mengenaskan malam sebelumnya, menyita perhatian
Anggun dan Cantik.
Semula Cinta menjelaskna panjang lebar. Apalagi
kalau ingat, bahwa dua saudara tirinya bisa jadi orang yang bertanggung jawab
soal pemotongan rambut Cinta. Aisyah pernah bilang, tidak baik berprasangka
buruk. Tapi, susah untuk menepis kemungkinan yang melompat di benaknya sejak
kejadian itu.
5.3.Rahasia enam belas tahun
“Mbok
mau ngomong sebentar.”
Cinta cepat-cepat mengangguk, tangannya membuka
pintu lebih lebar, membiarkan Mbok Nah melangkah masuk. Mereka duduk
berhadapan. Cinta memilih duduk tak jauh dari Mbok Nah. Keduanya berhadapan di
atas lantai keramik yang terasa lebih dingin dari biasa. Terjadi keheningan
sangat lama.
Perempuan itu pun memutuskan mengikuti naluri.
Hati-hati, Mbok Nah meletakkan sesuatu ke pangkuan Cinta. Gadis berusia tujuh
belas tahun itu nyaris memekik menyadari apa yang dilihatnya. Sebuah foto!
Setelah begitu lama Cinta bertanya-tanya, seperti apa wajah ibunya. Bagaimana
bentuk alis, mata, hidung, bibir, dagu perempuan yang melahirkannya. Cinta tahu
dia tidak mirip Papa. Itu menggiringnya ke pertanyaan lain, mirip Ibu kah dia?
Di foto lusuh itu tampak Ayuningsih dengan baju
kurung dan kerudung, menggendong bayi yang berusia kurang dari setahun.
Ibu!
Cinta disergap keharuan luar biasa. Bibirnya
bergetar, meski tersenyum, sedang air mata pelupuk siap menggulir.
Awalnya Cinta tidak mengerti, dikirinya Mbok Nah
akan memberinya foto-foto lain. Agar ia puas memandangi berbagai wajah Ibu.
Tapi amplop itu kosong dan Mbok Nah tak hendak menjelaskan.
Cinta merayapi amplop putih kusam di tangannya.
Mebolak-balikkan. Dia tak menemukan apa pun yang mampu menjernihkan keadaan,
kecuali nama Mbok Nah di bagian depan, dan sebuah nama lagi di bagian si
pengirim. Nama yang melekat kuat di hatinya.
6.
Bab 6 : Izinkan Aku Mencarimu
6.1.Menelusuri jejak surga
Harusnya mungkin dia menunggu. Masa sekolah sebentar
lagi usai, dan mereka akan bersiap mengikuti ujia masuk perguruan tinggi.
Setelah itu adalah hari-hari panjang menanti hasil belajar selama tiga tahun.
Tapi Cinta tak sanggup menunda. Penjelasan Mbok Nah semalam membuatnya tidak
sabar menunggu pagi datang. Gadis itu memang tidak memerlukan waktu lama untuk
memutuskan apa yang harus dilakukan. Sudah waktunya untuk terbang, sebab
rindunya kini punya tujuan.
“Kosong,
ya?”
Seorang anak muad, dengan kemaja kotak-kotak lusuh
dan berantakan, tahu-tahu menunjuk kursi disamping gadis itu. Cinta hanya
menjawab dengan anggukan kepala.
“Saya duduk di sini, ya?”
Laki-laki itu bernama Adji, Cinta dan Adji saling
berkenalan. Walaupun sikap Cinta yang agak cuek
karena mungkin isi hati dan
pikirannya masih terpenuhi oleh pencarian Ibunya.
6.2.Jejak di Langit Jakarta
“Ke Jakartanya mau ke mana?”
Cinta mengeluarkan sebuah amplop lusuh dari saku,
dan menyodorkan pada Adji. Adji membaca sesaat. Wajahnya langsung kaget.
“Wuihh,
ini daerah gawat. Yakin mau ke sini?”
Cinta
mengangguk, “Kenapa?”
“Daerah
kelam lagi! Biasa disebut Bongkaran. Ini daerah rawan, Non. Apalagi kamu cewek. Dah gitu sendirian. Jangan deh!”
Tapi bukan Cinta kalau dengan mudah tergoyahkan.
Hidup bersama Cantik dan Anggun serta Mama Alia telah mengasah jiawanya.
“Saya
harus ke sana!”
Adji
mengangkat bahu.
“Siap-siap
yuk! Kalau kamu nggak keberatan, gue temani deh. Tapi sampai situ aja ya?
Soalnya rumah gue masih jauh!”
Ditemani?
Cinta ragu. Tapi Adji sudah bangkit dan berjalan
cepat menyusuri gerbong demi gerbong, tidak memberinya waktu untuk berpikir.
Meski mengambil jarak, Cinta mengikuti langkah Adji. Menyelip di antara
penumpang kereta lain yang bersiap-siap turun.
Jakarta, hari pertama
Cinta berdiri masygul. Di dekatnya Adji
melemparkan pantan ke tempat duduk di halte. Ketika turun dari mikrolet tadi,
Cinta belum mengerti benar perkataan Adji soal daerah rawan. Tapi setelah
berjalan sedikit, dan menuruni jembatan, mengikuti jalan setapak yang bersisian
dengan rel kereta api, baru Cinta mengerti.
Jadi, seperti ini Bongkaran, tempat yang menyimpan
jejak ibunya. Beberapa lelaki berpakaian preman, dengan wajah sangar dan sorot
mata tajam, mengikuti langkah Cinta. Gadis itu berjalan di belakang Adji
setenang mungkin, melintasi satu demi satu perumahan kumuh di samping rel.
Melewati beberapa perempuan yang sedang tidur-tiduran dengan pakaian
sekadarnya. Atau duduk mengangkat kaki di warung minuman, sambil tertawa genit
dengan beberapa lelak. Sebagian lagi asyik mengobrol dengan rokok terselip di
bibir.
Adji dan Cinta menanyakan foto ibunya ke beberapa
orang, tetapi tak ada satu pun yang tahu. Dan akhirnya ia menemukan seorang
perempuan tua yang mengetahui Ayuningsih. Perempuan itu sedikit berceria
tentang Ayuningsih, tetapi sekarang Ayuningsih sudah tidak tinggal lagi disini.
Cinta dan Adji mendapatkan informasi terakhir dari salah seorang warga, bahwa
Ayuningsih pindah ke Kalijodo sebagai tukang urut.
6.3.Teka-teki di Komplek Pelacuran
Mata gadis itu terpaku pada kerumunan orang yang
berjejal mengamati sebuah meja kecil panjang, berukuran sekitar tujuh meter, di
depan mereka. Heran, kenapa orang-orang itu mau memenuhi tempat yang tidak
seberapa besar, dan berdiri dalam kepadatan dan udara siang yang menyengat.
Kepala Cinta teras pusing, Adji meminta Cinta
untuk duduk terlebih dahulu. Adji yang akan menanyakan keberadaan Ibu Cinta.
“Mereka
tidak tahu dimana ibumu, Cinta. Sebab sudah lebih dari empat tahun ibumu
meninggalkan tempat ini”
Cinta
memburu.
“Kemana?”
Adji
menatap gadis itu dengan mata yang sulit diterjemahkan Cinta.
“Ini
alamatnya. Tidak jelas, tapi mudah-mudahan bisa dicari”
Cinta membaca tulisan tangan Adji di atas selembar
notes kecil. Bandung.
Adji
kaget. Tiak menyangka Cinta setanggauh itu. Juga keras kepala. Diam-diam Adji
bersyukur, Cinta tidak perlu mendengar komentasr seperti yang mereka dapatkan
di Bongkaran.
6.4.Jejak di Langit Bandung
Bandung,
hari kedua.
Cinta menikmati suasana pagi yang masih dingin.
Lututnya didekapkan ke dada. Sementara mata peri-nya yang penat menjelajahi
langit-langit kamar yang terasa asing. Semalam tidurnya pulas sekali di kereta.
Cinta bahkan tidak menyadari dia sudah tiba di tujuan, sampai seorang ibu yang
duduk di sebelahnya membangunkan. Terjadi sedikit percakapan dengan Ibu itu.
Hari sudah malam, Cinta tak tahu harus tidur dimana. Si Ibu baik hati itu
menawarkan Cinta untuk menginap di rumahnya.
Bandung,
hari ketiga.
Dua hari Cinta mengubek-ubek Kota Kembang, dia tak
menemukan apa-apa. Tidak sebuah jejak pun. Alamat yang dikantonginya tidak
memberi petunjuk berarti. Waktu Cinta mencari ke alamat baru yang diperolehnya,
Cinta hanya menemukan bangunan yang sedang diratakan. Orang-orang bilang, di
sana akan dibangun sebuah mal, yang tidak kalah besar dari BIP.
Ada beberapa pesan masuk ke handphone Cinta, ada juga panggilan masuk. Tapi Cinta tidak
menghiraukannya sekalipun itu dari Makky.
6.5.Jejak di Langit Jogja
Jogja,
hari keempat.
Ada
dua pesan masuk, dari Makky dan Adji.
Berapa peluang yang dia miliki? Cinta tak tahu.
Sejak awal dia berusaha tidak dipengaruhi oleh besar kecilnya peluang. Semua
menjadi tidak penting setelah dihadapkan pad rindu yang berlapis-lapis, mimpi
bertahun-tahun.
Cinta ragu-ragu melangkahkan kaki. Pasar Kembang
di waktu siang biasa saja di mata Cinta. Beberapa perempuan terlihat mengobrol
di teras rumah-rumah petak yang sangat sederhana. Sebagian penduduk bersender
sekadar menangkap angin. Namun mata-mata mereka membesar ketika sosok Cinta
pelan-pelan melangkah mendekati.
Cinta bertanya kepada orang sekitar tentang
Ibunya, tetapi tidak ada seorang pun yang tahu.
Cinta
bertanya pada seorang bapak-bapak, terjadi sedikit percakapan.
“Cuma
ada satu lelaki dalam hidup Ayuningsih. Lelaki yang dihormati dan dicintainya
sungguh-sungguh. Lelaki yang memberinya kehidupan baru bagi Ayuningsih, namun
juga melemparnya kembali ke selokan hanya karena omongan perempuan lain!
Bodoh!”
6.6.Buntu
Cinta bukan gadis cengeng. Tapi baru kali ini dia
ingin menangis sejadi-jadinya. Jika saja mungkin, tentu sudah diajarnya lelaki
brengsek tadi. Keduanya sekaligus. Termasuk preman sok jago yang barusan dengan
kasar mendorongnya ke jalanan.
Cinta duduk di emperan. Mengusap air mata yang mengalir
deras di pipi dengan lengan kaus panjangnya. Inikah akhir pencarian? Harapan
dan mimpi-mimpinya? Beberapa hari menggelandang, semua untuk kesia-siaan. Cinta
mengeraskan buku tangan-tangannya. Kesal.
Tapi Cinta harus tetap berusaha untuk mencari
ibunya. Neta, Aisyah, Makky menjemput Cinta di Jogja. Sebenarnya Cinta tidak
memintanya, dan ia ingin mencari jejak ibunya sendirian. Tetapi bagaimana lagi
mereka datang dengan sendirinya. Dan mungkin dengan mencari bersama-sama akan
segere ditemukan.
6.7.Saat Cinta Bersujud
Jogja,
hari kelima.
Kasongan, terletak di Bantul, sebelah barat
Jogjakarta. Daerah pinggiran dimana sawah masih terbentang di atas tanah kering
kecoklatan. Penduduknya selain bertani, juga mencari penghasilan dengan menjadi
pengrajin gerabah.
Cinta menemukan sebuah alamat sepertinya yang akan
menjadi akhir dari pencarian Ibunya. Bus yang mereka tumpangi masih melaju
dengan tenang. Cinta dan teman-temannya duduk tanpa banyak bicara.
Bertemu
Ibu hari ini. Ya. . .
Cinta semakin memperkuat doanya. semoga Allah
memberinya kesempatan bertemu dengan Ibu, memeluk dan menciumi wajahnya, lalu
bersimpuh di kakinya, di mana surga terlukis disana.
Akhirnya mereka tiba di alamat tujuan. Mereka
mulai mengetuk pintu rumah yang sesuai dengan alamat yang ditujunya. Tidak ada
jawaban, mereka terus mencoba hingga akhirnya ada juga yang membukakan pintu.
Mereka ditawarkan masuk oleh pemilik rumah. Percakapan dimulai.
Perempuan tua itu menceritakan Ibunya Cinta, Ayuningsih.
Namun sayang, akhir dari cerita beliau membuat
Cinta meneteskan air mata, begitupun dengan teman-temannya. Cinta masih tak
percaya, setega itukah Ibu sampai tidak mau mencarinya? Sampai saat ini Ibu
telah tiada. Ya Ayuningsih telah tiada, dan makamnya pun ada di belakang rumah
yang didatangi Cinta dan teman-temannya. Tetapi mau bagaimana lagi jika memang
ini sudah menjadi takdir Tuhan.
Dibalik kesedihan ini Cinta merasa sangat berhasil
karena telah bisa menemukan sosok yang telah melahirkannya walaupun Cinta tak
sempat melihatnya.
Sahabat-sahabat Cinta lega melihat betapa tegar
gadis itu menghadapi semua yang terjadi. Kekuatan hati menghadapi kekecewaan,
juga kesedihan atas akhir skenario-Nya yang tak sesuai dengan mimpi-mimpinya
selama ini.
7.
Bab 7 : Penutup
7.1.Interview 2
Sungguh kisah yang luar biasa. Awalnya saya
mengira Cinta akan membawa saya pad cerita klise ratapan anak tiri. Ternyata
saya salah. Cinta tersenyum. Beberapa saat lalu saya melihat matanya memerah.
Mungkin menahan perasaan. Saya bisa mengerti, karena sepanjang ceritanya, saya
pun mengalami naik turun emosi
“Saya
menikah dengan satu dari dua lelaki yang saya ceritakan itu Alhmdulillah”
“Yang
mana?”
“Laki-laki
yang menemani pencarian saya. Dan saya bersyukur Allah mempertemukan kami di
waktu yang tepat. Hingga dia bisa begitu mengerti hati dan keinginan saya”
Cinta akhirnya menikah dengan seorang laki-laki
yang sangat spesial untuknya. Ya Makky.
C.
1. Tema :
Menceritakan seorang perempuan yang sedang mencari ibunya karena rindu sudah
ditinggalkan selama belasan tahun.
2. Tokoh :
i.
Cinta
ii.
Makky
iii.
Mbok Nah
iv.
Papah Cinta
v.
Mama Alia
vi.
Cantik
vii.
Anggun
viii.
Neta
ix.
Aisyah
x.
Iwan
xi.
Peter
xii.
Mirna
xiii.
Adji
xiv.
Salsa
xv.
Tante Rini
xvi.
Ibunda Makky
3. Penokohan :
i.
Cinta : Baik,
Sabar, Sportif, Tawakkal, tidak mudah menyerah.
“Banyak yang bilang, Cinta punya mata indah.Mata para peri.Gadis
dengan penampilan sportif itu juga dikenal memiliki hati yang baik. Jika
peri-peri dalam dongeng itu benar adanya dan berhati sangat baik, maka Cinta
mewarisi sedikitnya setengah kebaikan hati mereka”
(Lihat
hal 11, Paragraf 1)
“Tengah malam, saat terbangun, Aisyah menemukan Cinta sudah
menghamparkan sajadah, sedang khusyu berdoa.Wajah beningnya dalam balutan
mukena putih, menengadah.Ada titi air mata yang mengalir deras, sementara
bibirnya melantunkan doa-doa panjang.Tidak lama dilihatnya Cinta bersujud, lama
sekali.”
(Lihat
hal 242, Paragraf 4)
ii.
Makky : Baik,
perhatian, dan saling berbagi.
“Nih, catat ya?”
gaya Makky bak pak guru terhadap murid, “pertama pasti harus punya auto focus,
supaya lebih cepat menangkap momen yang bergerak. Ini mah dasar banget.Terus
harus punya motor drive.”
(Lihat
hal 60, Paragraf 4)
iii.
Mbok Nah : Sabar,
pengertian dan penuh kasih sayang.
“Pembelaan, kasih,
bakti dan perlindungan perempuan itu membuat Cinta menaruh hormat dan sayang.
Mbok Nah adalah perisai, yang melindunginya dari cuaca buruk.”
(Lihat
hal 155, Paragraf 6)
iv.
Papah Cinta : Tidak mudah di
tebak, terkadang penyayang, terkadang
pemarah
“Suasana tegang.Papa
membanting Koran ke atas meja makan.Kedua bola mata hitamnya menatap Cinta yang
berdiri berseberangan.Papa meradang.Lelaki itu melepas kacamata.Matanya menatap
Cinta tajam, lalu tangannya menggebrak meja dan mengagetkan mereka semua.”
(Lihat
hal 32, paragraf 6)
v.
Mama Alia : tidak adil, selalu memihak pada yang
salah.
vi.
Cantik : Suka
berkata kasar, pemarah, berpenampilan fashionable.
“Dia harus kelihatan berkelas dan fashionable.Itu alasan Cantik
mengenakan celana panjang bootcut, plus kaos ketat warna merah menyala, serta
rok kotak-kotak hitam putih sepaha. Biar kelihatan lebih manis, dia tak lupa
memakai kalung yang terdiri dari untaian kotak-kotak kecil sebesar dadu,
berwarna pink, biru, dan kuning, dan anting sebelah berbentuk rantai kecil.”
(Lihat
Hal 50, paragraf 6)
vii.
Anggun : Kasar,
pemarah, ketus kalau sedang berbicara dengan orang yang tidak disukainya, tidak
penyabar.
“Kalo tahu ngapain gue nanya”
(Lihat
Hal 18, paragraf 1 )
viii.
Neta : Baik, perhatian.
“Kenapa sih nggak ngasih-ngasih kabar?Bikin orang kuatir aja!”
(Lihat
Hal 228, paragraf 1)
ix.
Neta : Baik,
alim, perhatian, suka makan.
“Aisyah melotot.Tampang arabnya sekarang terlihat kocak dengan pipi
menggembung dan mulut mungilnya mengerucut, penuh nasi.”
(Lihat
Hal 233, paragraf 5)
x.
Adji : Baik,
perhatian, ramah, periang, kocak, suka menolong
“Siap-siap
yuk!Kalau kamu nggak keberatan, gue temani deh.Tapi sampai situ aja ya?Soalnya
rumah gue juga masih jauh!”
(Lihat
Hal 174, paragraf 2)
4. Latar
i.
Waktu :
1. Pagi :
“Pagi ini hari pertama Cinta ke sekolah dengan rok biru.
(Lihat
Hal 200, Paragraf 5)
2. Siang :
“Hari sudah siang ketika Cinta dan teman-temanya berpamitan.”.
(Lihat
hal 259, Paragraf 2)
3. Malam :
“Malamnya, mereka makan di salah satu warung yang menawarkan suasana
lesehan.”
(Lihat
Hal 230, paragraf 2)
ii.
Tempat :
1. Sekolah :
“Sekolah selalu merupakan rutinitas yang menyenangkan bagi Cinta.”
(Lihat Hal. 85, Paragraf 3)
2.
Rumah Cinta :
“Cinta duduk di teras depan rumahnya.”
(Lihat Hal 29, Paragraf 1)
3.
Jakarta :
“Kita keliling Jakarta sama-sama Cinta.”
(Lihat Hal 170, Paragraf
1)
4.
Stasiun :
“Kreta Api Bogor-Jakarta Express melaju cepat.”
(Lihat Hal 172, Paragraf
2)
5.
Yogyakarta :
“Jogja hari keempat”
(Lihat Hal 206, Paragraf 1)
iii.
Suasana :
1. Tegang.
“Suasana tegang.Papa
membanting Koran ke atas meja makan.Kedua bola mata hitamnya menatap Cinta yang
berdiri berseberangan.Papa meradang.Lelaki itu melepas kacamata.Matanya menatap
Cinta tajam, lalu tangannya menggebrak meja dan mengagetkan mereka semua.
(Lihat Hal 32, Paragraf 4)
2. Bahagia.
“Perhatian penuh hari itu membuat Cinta serasa terbang diantara
gugusan bintang.”
(Lihat
Hal 145, paragraf 1)
3. Sedih.
“Cinta tersedu sedan, bahunya bergoncang.Tampak sangat
terpukul.Sementara perempuan tua di sampingnya memeluk gadis itu sepenuh
perasaan.”
(Lihat
hal 256, paragraf 6)
5. Alur : Maju
Dalam cerita mempunyai alur cerita yang tersusun
dari pengenalan, timbulnya masalah, puncak masalah, penurunan masalah, dan
akhirnya timbul penyelesaian masalah.
6. Sudut Pandang : Sudut
pandang yang digunakan dalam novel ini adalah pengarang sebagai sudut pandang
pertama karna pengarang serba tahu. Pengarang
menceritakan setiap kejadian yang terdapat dalam novel ini
7. Amanat :
1) Jadilah pribadi yang kuat dalam
menerima kenyataan buruk yang diterima dan jangan mudah putus asa dalam
menghadapi permasalahan.
2) Jangan pantang menyerah, terus
berjuang dalam menggapai impian sampai kemana pun impian itu berlari.
3) Kejujuran sangatlah diperlukan untuk
menjalani kehidupan ini, karena kejujuranlah yang membuat hidup ini lebih
berkah.
1.
Nilai Religi
·
“Sunatullah itu artinya sudah dari sononya begitu.Ada yang putih ada yang
hitam, ada yang hak ada yang batil.Ada yang baik dan ada yang jahat.” (Halaman : 88)
·
“Ada tiga perkara, yang akan menolong orang yang sudah meninggal.Pertama
amal jariyah, kedua ilmu yang bermanfaat, dan ketiga adalah anak yang salih dan
salihat.”
(Halaman : 101)
·
“Allah mulai hari ini , kusandarkan diri sepenuhnya padaMu.”
(Halaman : 137)
2.
Nilai Estetika
·
“Setiap melihat langit malam luas begini, gue inget malam-malam di lantai paling
atas di Masjidil Haram.”
(Halaman : 79)
·
“Cinta menatap Neta, Aisyah, Makky, dan Adji dengan senyum terukit tak
terputus-putus, Allah membei banyak kejutan hari ini.”
(Halaman : 229)
3.
Nilai Moral
·
“Kalau orang tua bicara, jaga sikapmu!”
(Halaman : 70)
4.
Nilai Sosial
·
“Bubaran sekolah, lima anak siap-siap.Dengan kendaraan Peter mereka mencari
rumah Mirna.”
(Halaman : 108)
·
“Cinta benar-benar terharu.Teman-temanya mau bersusah payah datang, keluar
ongkos dan biaya sendiri selama di Jogja.”
(Halaman : 239)
·
“Hati Cinta berdetak.Terharu dengan kebaikan si Ibu.Bukan hanya peduli,
kini bahkan menawari Cinta tempat menginap.”
(Halaman : 197)